Intisari-Online.com – la lebih dikenal sebagai komponis ketimbang guru, wartawan, atau pengarang. Meski sempat bimbang, akhirnya ia memilih menjadi wartawan sekaligus pencipta lagu perjuangan. Gara-gara lagu yang digubahnya, penjajah membenci dan menahannya. Namun berkat biolanya, pemerintah menganugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Hingga saat ini tempat lahirnya masih teka-teki. Sebuah sumber mencacat Mesteer Cornells (kini Jatinegara, Jakarta), sementara yang lain menyebut Desa Somongari sebagai tempat kelahiran pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya itu.
“Masyarakat Somongari tahunya W.R. Supratman ya lahir di sini," tutur Sastro Supardi (62), carik alias sekretaris Desa Somongari. Di rumah Soprono, kakak kandung Senen (ibu kandung Wage), Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah. Menurut cerita sesepuh Somongari, lanjut Supardi, Pak Wage (demikian warga Somongari menyebutnya, Red.), lahir hari Senin, 9 Maret 1903.
Namun belum genap usia dua bulan, bayi Wage yang lahir pada hari pasaran Jawa, Wage diboyong ke Jatinegara. Di sana, sang ayah, Sersan Djoemeno Senen Sastrosoehardjo sebagai instruktur Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) membuatkan keterangan kelahiran (geboorteacte) Wage dengan nama tambahan Supratman. Wage Supratman resmi menjadi warga tangsi Meester Cornelis.
Sebagai anak laki-laki dari 6 bersaudara - 2 orang saudaranya lagi meninggal - ia amat disayang dan cenderung dimanja ibunya. Bahkan masih menetek hingga uniur 5 tahun, saat masih TK (Frobelschool). Terlalu dilarang ini-itu, Wage kecil mulai bandel, mogok sekolah kalau tidak diantar-jemput Rukiyem Supratiyah, kakak sulungnya.
Ketika ayahnya pensiun (1910), Wage yang masih menjadi murid SD Budi Utomo, terpaksa ikut boyongan ke Waning Contong, Cimahi, Jawa Barat. Di tempat baru, bekas anak kolong ini suka ngelayap, dan sering pulang menjelang malam. Saat ibunya meninggal karena sakit, tahun 1912, ia pun tidak di rumah.
Sepeninggal ibunya, Wage, menjadi pemurung, kurus, dan kudisan kedua tangannya. Kian merana sejak ayahnya menikahi Uyek, janda empat anak, tahun 1914. Sementara Rukiyem Supratiyah yang selalu mendongeng untuknya, diboyong W.M. van Eldik, suaminya, ke Makasar.
Jadi guru sambil nge-band
" Akhir Oktober 1914 teluarga van Eldik menjemputnya untuk tinggal di Kees, kompleks rumah dinas bintara Belanda atau Indo-Belanda, di Makasar. Di sana, ia melanjutkan kelas tiga di ELS (Europees Lagere School), sekolah khusus sinyo-noni dan keturunan Belanda. Sebelumnya, oleh kakak iparnya Wage diaku sebagai anak dan diberi embel-embel nama berbau londo, Rudolf, supaya diterima di ELS. Beberapa bulan merasakan sekolah Belanda, Wage "Rudolf" Supratman keburu dikeluarkan. Ketahuan ia bukan anak kandung Sersan W.M. van Eldik.
Ia menjadi korban politik diskriminasi pemerintah kolonial. Lalu pindah ke sekolah dasar bumiputra sampai lulus pada usia 14 tahun. Tahun 1919 ia mengantungi ijazah KAE (Klein Ambtenaar Examen). Lulus dari Normaal School; W.R. Supratman menjadi guru bantu (hulp onderwijzer) di sekolah dasar bumiputra di Ujungpandang.
Ketika akan dinaikkan statusnya menjadi guru penuh, dengan syarat dipindah ke Singkang di pedalaman dekat Danau Tempe, ia mengundurkan diri sebagai guru. Selain karena letaknya terpencil, daerah itu juga masih ada perusuh yang menyerang pos-pos polisi.
Dengan bekal ilmu menggesek biola yang diperoleh dari kakak iparnya, tahun 1920 ia menjadi anggota Black – White Jazz Band. Kelompok musik pimpinan van Eldik ini sering tampil di rumah petinggi Belanda, juga di gedung Balai Kota. Dari main band, ia memperoleh honor cukup besar dibandingkan dengan gajinya sebagai guru.
Tahun 1923 W.R. Supratman menjadi juru tulis di kantor dagang Firma Nedem. Lalu pindah kerja di kantor pengacara dengan gaji cukup besar. Tapi musik tetap ditekuninya.
Pintar main musik dan juga berduit, ia menjadi idola noni-noni. Di usia awal 20-an, "Meneer Supratman" - demikian mereka menyebutnya - sering ganti teman kencan. Setiap malam Minggu selesai nge-band, ia pergi berdansa dengan mereka. Tapi tak satu pun gadis betul-betul memikat hatinya.
Berita politik di surat kabar dan ceramah politik H.J.F.M. Sneevliet, pendiri Indische Sociaal Democratische Vereeniging(ISDV), menggugah minatnya menghadiri rapat, ceramah, dan diskusi berbau politik yang diselenggarakan putra-putri Indonesia. Meski hanya pendengar, keterlibatannya merisaukan keluarga van Eldik. Politieke Inlichtingen Dienst (PID), jawatan polisi rahasia Belanda, selalu mengamati gerak-geriknya. W.R. Supratman merasa gerah dan tak lagi hadir dalam setiap kegiatan politik.
Juli 1924, ia tiba di Surabaya. Tinggal bersama keluarga Kusnandar Kartodirejo, suami Rukinah Supratinah, kakak kandungnya nomor dua. Akhir tahun 1924, ia menuju ke Cimahi, Jawa Barat.
Kegiatan politik terus diikuti lewat surat kabar Bandung, Kaoem Moeda. Ia pun tergelitik untuk melamar sebagai wartawan, dan diterima sebagai wartawan pembantu. Untuk tambahan pemasukan, ia merangkap sebagai violis kelompok jazz band yang tampil tetap di Gedung Societeit Bandung. Honornya dua kali lipat gaji sebulan sebagai wartawan.
Tahun 1925 ia pindah ke Surat Kabar Kaoem Kita, juga terbit di Bandung, sebagai pemimpin redaksi. Namun gajinya belum juga memenuhi keperluan hidupnya. Ia lantas merangkap menjadi pembantu kantor berita PAIT (Pers Agehtschap India Timur). Celakanya, PAIT tidak sanggup membayar semestinya, bahkan dua bulan gajinya belum dibayar.