Pada usia itu Gus Dur memang sudah akrab dengan buku-buku yang agak serius. Dari filsafat, cerita silat, sejarah, hingga sastra. "Saya ini enggak punya pacar. Teman main saya cuma buku dan bola," celoteh Gus Dur mengingat masa itu.
Sejak di SMEP Gus Dur sudah menguasai bahasa Inggris. Bacaannya tentu yang berbahasa Inggris, semisal What is To Be Done-nya Lenin, Das Kapital karya Karl Marx, buku filsafat Plato, Thalies, novel William Bochner, Romantisme Revolusioner karangan Lenin Vladimir llych. Selain itu ia pun membaca buku karya penulis terkenal macam Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. "Yang paling berat karya Faulkner," kenang Gus Dur.
Ketika menjadi mahasiswa Universitas Al Azhar, hatinya malah tak terpuaskan. Untuk menghabiskan rasa bosan, Gus Dur mengabiskan waktu di salah satu perpustakaan terlengkap di Kairo, termasuk American University Library, serta toko-toko buku.
Sepanjang dekade 1980-an Gus Dur tampak meyakinkan sebagai seorang pemikir, intelektual, budayawan, dan agamawan. Gus Dur mencurahkan sepenuh perhatiannya pada pengembangan pemikiran serta pembangunan masyarakat dan bangsa Indonesia. Jika menelusuri jejak Gus Dur sejak berkiprah menjadi ketua umum PBNU hingga menjadi presiden Rl, tampak sejajar dengan apa yang dikatakan Henry Kissinger, "A great leader must be an educator, bridging the gap between the vision and the familiar. But he must also be willing to walk alone to enable his society to follow the path he has selected ...."
Para tokoh tadi hanyalah etalase betapa besar peran buku dan literatur lain yang mereka baca dalam proses pengembangan karakter mereka. Umumnya, kegairahan membaca buku banyak pula kita temui pada tokoh-tokoh perintis kemerdekaan kita seperti I.J. Kasimo, Haji Agus Salim, Soepomo. Ki Hadjar Dewantara, Mohammad Yamin, A.A. Maramis, Gafar Pringgodigdo, Arnold Mononutu, Tjipto Mangunkusumo, dan Iwa Kusuma Sumantri. Mereka adalah orang-orang yang gemar membaca dan menggunakan buku demi mencapai sukses dalam perjuangan.
Lalu, bagaimana dengan generasi sekarang? •
--
Tulisan ini pernah dimuat di Intisari edisi Mei 2005, yang ditulis oleh Mohammad Fahmi, dengan judul asli "Mereka Bersenjatakan Buku".
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR