Intisari-Online.com – Tepat hari ini adalah Hari Buku. Kami sajikan tulisan yang pernah dimuat di Majalah Intisari, sajian khusus tentang Hari Buku. Senjata yang kukuh dan berdaya hebat untuk melakukan serangan maupun pertahanan terhadap perubahan sosial, termasuk perubahan nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan, adalah buku. Begitu ujar Mochtar Lubis. Republik Indonesia banyak memiliki tokoh pergerakan yang berjuang bersenjatakan buku dalam mengusir penjajah.
--
Untuk angkatan yang lebih muda dari trio Soekarno - Hatta - Sjahrir, masih ada sosok yang tak kalah penting perannya dalam khasanah intelektual Indonesia, terlebih di luar negeri. Dialah Soedjatmiko, akrab dipanggil Koko. Banyak atribut yang disematkan orang padanya, yaitu "Sufi" (oleh K.H. Hamam Djafar dari Ponpes Pabelan), "Sing mbahurekso ilmu-ilmu sosial Indonesia" (Emha), "Dekan Intelektual Bebas Indonesia" (Nono Anwar Makarim), "Guru dari Para Guru Besar" (Juwono Soedarsono), "Begawan" (Kompas).
Nama Koko lebih bergema di luar negeri daripada di Indonesia. Menurut Nurcholis Madjid, di kalangan intelektual Amerika Koko dijuluki The Prince Indonesian Intelectual. Tak ketinggalan Anne Elizabeth Murase dari Universitas Sophia menyebut Koko sebagai "juru bicara yang gigih dan fasih bagi negara-negara berkembang". Ketika masih menjadi dubes di AS, Henry Kissinger, yang sempat terpukau oleh ceramah Koko berujar singkat, "Mendengarnya seperti mendengar seorang Nabi."
Soedjatmiko yang juga adik ipar Sjahrir ini merupakan segelintir intelektual Indonesia yang kecendekiawanannya diakui di segenap penjuru dunia. Terlebih setelah Koko masuk "Club of Rome", sebuah kumpulan pemikir kelas wahid. Klub yang bermarkas di Roma, Italia, ini dipandang sebagai ikon tempat berkumpulnya begawan ilmu papan atas dunia ketiga.
Sejak kecil Koko sudah melakukan pengembaraan intelektual yang luar biasa. Bacaan yang paling memukau ketika masih di sekolah dasar adalah seri sejarah dunia dan kisah-kisah petualangan fiksi ilmiahnya Jules Verne, la pun masih menambahnya dengan bacaan filsafat tentang alam pikiran Yunani dan filsafat Barat. Di sekolah menengah bacaannya mulai "berat", seperti karya Hegel, Karl Marx, atau Nietzsche.
Dari rak buku ayahnya, Dr. K.R.T. Mangundiningrat, ia melahap buku kelas dunia macam Gandhi, Khrisnamurti, serta Swami Vivekananda. Ketika dunia dilanda krisis minyak, Koko tak ketinggalan membaca "Pengaruh Minyak Terhadap Politik" tulisan Antoine Zischka.
Ketertarikan dan pemahaman Koko pada bidang yang sangat luas membuat orang sulit menunjuk di kotak mana ia berada. Inilah yang menjadi alasan buat Koko untuk menolak menjadi ilmuwan dalam pagar disiplin akademis tertentu. Ia lebih memilih sebagai seorang cendekiawan dengan visi "Pembebasan Manusia". Tampaknya, Koko terpengaruh novel Dokter Zhivago karya Boris Pasternak.
Koko pun suka menulis, meski banyak kalangan menilainya berat. Tulisannya menyebar di dalam maupun di luar negeri dengan bermacam spektrum: budaya, sosial, ekonomi, teknologi, dll. Dari autodidak dan DO dari sekolah kedokteran, Koko akhirnya menjadi Rektor Universitas PBB di Tokyo pada era 1980-an. "Buku memiliki peran vital dalam proses pembentukan jati diri saya sebagai seorang manusia humanis," akunya.
Diakui banyak pihak, Soedjatmiko memiliki jasa besar sebagai diplomat ulung dalam era Bung Karno maupun Pak Harto. Kelihaian dalam berdiplomasi dan penguasaan beberapa bahasa asing turut membantu pemerintah Indonesia tampil percaya diri dalam kancah perpolitikan dunia. Sayang, Koko meninggal dunia saat sedang memberikan ceramah di Yogyakarta pada 21 Desember 1989.
Teman Mainnya Cuma Buku
Setelah era Koko, tokoh yang lama bergumul dengan buku adalah Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Mantan presiden Rl pascareformasi ini waktu kecil pernah ditegur ibunya soal hobi membaca, seperti terungkap dalam buku Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur. "Jangan terlalu banyak membaca, nanti matamu rusak," begitu kata sang bunda seraya membolak-balik halaman novel sastra putranya yang baru berumur 10 tahun.
Pada usia itu Gus Dur memang sudah akrab dengan buku-buku yang agak serius. Dari filsafat, cerita silat, sejarah, hingga sastra. "Saya ini enggak punya pacar. Teman main saya cuma buku dan bola," celoteh Gus Dur mengingat masa itu.
Sejak di SMEP Gus Dur sudah menguasai bahasa Inggris. Bacaannya tentu yang berbahasa Inggris, semisal What is To Be Done-nya Lenin, Das Kapital karya Karl Marx, buku filsafat Plato, Thalies, novel William Bochner, Romantisme Revolusioner karangan Lenin Vladimir llych. Selain itu ia pun membaca buku karya penulis terkenal macam Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. "Yang paling berat karya Faulkner," kenang Gus Dur.
Ketika menjadi mahasiswa Universitas Al Azhar, hatinya malah tak terpuaskan. Untuk menghabiskan rasa bosan, Gus Dur mengabiskan waktu di salah satu perpustakaan terlengkap di Kairo, termasuk American University Library, serta toko-toko buku.
Sepanjang dekade 1980-an Gus Dur tampak meyakinkan sebagai seorang pemikir, intelektual, budayawan, dan agamawan. Gus Dur mencurahkan sepenuh perhatiannya pada pengembangan pemikiran serta pembangunan masyarakat dan bangsa Indonesia. Jika menelusuri jejak Gus Dur sejak berkiprah menjadi ketua umum PBNU hingga menjadi presiden Rl, tampak sejajar dengan apa yang dikatakan Henry Kissinger, "A great leader must be an educator, bridging the gap between the vision and the familiar. But he must also be willing to walk alone to enable his society to follow the path he has selected ...."
Para tokoh tadi hanyalah etalase betapa besar peran buku dan literatur lain yang mereka baca dalam proses pengembangan karakter mereka. Umumnya, kegairahan membaca buku banyak pula kita temui pada tokoh-tokoh perintis kemerdekaan kita seperti I.J. Kasimo, Haji Agus Salim, Soepomo. Ki Hadjar Dewantara, Mohammad Yamin, A.A. Maramis, Gafar Pringgodigdo, Arnold Mononutu, Tjipto Mangunkusumo, dan Iwa Kusuma Sumantri. Mereka adalah orang-orang yang gemar membaca dan menggunakan buku demi mencapai sukses dalam perjuangan.
Lalu, bagaimana dengan generasi sekarang? •
--
Tulisan ini pernah dimuat di Intisari edisi Mei 2005, yang ditulis oleh Mohammad Fahmi, dengan judul asli "Mereka Bersenjatakan Buku".