Intisari-Online.com -Lampu terang, gaun berkilauan, dan senyum yang mempesona menjadi hal yang tak bisa lepas dari sebuah kontes kecantikan. Tapi ada yang berbeda dengan Miss Fa’afafine, sebuah kontes kecantikan khusus untuk pemilik ‘jenis kelami ketiga’ di Samoa.
“Saya percaya terlahir sebagai Fa’afafine. Meskipun pada awalnya terlahir sebagai laki-laki, sisi feminin saya jauh lebih kuat,” ujar Velda Collins.
Ia mendefinisikan dirinya sebagai seorang perempuan yang terjebak dalam tubuh laki-laki. “Kami berbeda dengan komunitas lesbian dan gay lainnya di seluruh dunia, kami punya identitas kami sendiri,” tegas Collins.
Meskipun sudah diterima sebagai bagian dari budaya Samoa dari generasi ke generasi, tapi menjadi Fa’afafine bukan perkara yang mudah bagi Collins. Terlebih karena orangtuanya belum bisa menerinyanya dengan lapang dada. Merek takut identitas yang mereka sandang membatasi hidupnya.
Dan menjadi bagian dari Miss Fa’afafine pada 2007 adalah keputusan yang tepat dan “yang paling membebaskan” dalam hidupnya. Ia menjadi juara pada kontes tersebut dan sekarang telah menjadi salah satu penyelenggara kontes tahunan itu. Perhelatan Miss Fa'afafine ke-10 di Samoa/BBC
Tahun ini, Miss Fa’afafine sedang merayakan ulang tahunnya ke-10, dan akan melombakan sembian kontestan dari berbagai negara dan dari segala umur. Mereka akan memamerkan kebolehannya di depan ribuan kerumunan pada Jumat nanti.
Samoa Fa’afafine Association (SFA), yang menyelenggarakan kontes ini, seperti dilansir dari BBC, memanfaatkan agenda ini untuk mengumpulkan dana yang nantinya akan digunakan untuk memberdayakan komunitas mereka. Selain itu, agenda ini juga ditujukan untuk meningkatkan kesadaran isu hak asasi manusia di Samoa.
Ymania Brown (35), sang pendiri SFA, mengaku mengidentifikasi dirinya sebagai seorang perempuan ketika berusia tiga tahun. Dan ingat, ketika masih kecil ia juga sempat naksir dengan salah seorang teman laki-lakinya di taman kanak-kanak. Ymani berharap anak-anak di Samoa bis tumbuh tanpada bias dan diskriminasi/BBC
Lebih dari itu, Ymania menegaskan bahwa menjadi Fa’afafine tidak sama dengan menjadi gay. “Ketika Anda mencoba melihat budaya ini dari kacamata Barat, maka apa yang Anda akhirnya lakukan adalah mencari kecocokan yang paling mendekati. Dan stigma dan konotasi negatif ini begitu menyakitkan,” ujar Ymani.
Sama seperti Velda, Ymani juga tidak mudah mengakui dirinya sebagai Fa’afafine. Ibunya memang menerima identitasnya, tapi tidak dengan ayahnya. Menurutnya, tidak ada orangtua yang mau menerima kondisi anaknya menjadi Fa’afafine, tapi pada akhirnya, setelah melihat bagaimana kondisi mereka, juga akan menerimanya.
Lebih dari itu, penyelenggaraan kontes ini kerap menghadapi persoalan yang melintang. Secara kulturan, identitas ini memang diterima dan ditoleransi, tapi bagaimana dengan konservatisme agama yang ada di negara itu. Kristen Samoa kabarnya kerap menekan komunitas ini supaya tidak menyelenggarakan agenda tahunan ini.(BBC)