Setahun kemudian, ia mendapat tawaran yang lebih menantang. Di akhir 2004, YMN bekerja sama dengan PT Samsung Electronics menerbitkan situs berita online di internet. Fifi ditawari menjadi wartawan.
Awalnya ia ragu karena ia sarjana pendidikan bahasa Inggris dan bukan komunikasi. Ia tidak punya latar belakang jurnalistik. Tapi keraguan ini berhasil ia kalahkan setelah mengikuti pelatihan jurnalistik khusus buat tunanetra. Instrukturnya dari Kantor Berita Antara dan detik.com. Setelah mengikuti pelatihan selama seminggu, ia pun resmi menjadi wartawan, penulis artikel di www.mitranetra.or.id. Ini adalah profesi yang tidak pernah ia bayangkan ketika penglihatannya masih awas.
Ketemu suami
Saat awal menjalani profesi ini, Fifi banyak dihadapkan pada kesulitan akibat matanya yang cacat. Satu kali ia punya janji mewawancarai Ariyani, Ketua Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia (HWPCI), di daerah Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Dari kantornya di Lebak Bulus, ia berangkat pukul 13.00 WIB bersama seorang temannya yang juga penyandang cacat mata. Karena belum begitu hapal wilayah Jakarta, keduanya sempat tersesat. Tak terhitung berapa kali mereka bertanya kepada orang yang dijumpai di jalan. Semua jenis angkutan sudah mereka naiki, mulai dari bus, mikrolet, taksi, bajaj, sampai jalan kaki. Tapi, alamat yang mereka cari tak juga ditemukan. Setelah capek muter-muter, akhirnya mereka sampai di tujuan pukul 17.00 sore. Empat jam sejak berangkat!
Meski sering menemui kesulitan, Fifi tak pantang surut. Ia bahkan mengaku menjadi lebih percaya diri dengan kondisinya sekarang. Ia justru lebih "pede" dibandingkan dulu, ketika mata kanannya masih awas. "Enggak tahu kenapa," katanya heran.
Setelah menjalani profesi sebagai wartawan, ia merasa semakin menemukan hikmah di balik cacat matanya. Sebagai wartawan, ia meliput banyak hal, perihal kecacatan secara umum. Bukan hanya soal tunanetra. Ia juga sering bertemu dan mewawancarai orang-orang terkenal. "Di situ saya melihat dunia baru. Ketemu orang-orang yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan," ungkapnya. Meski matanya tinggal sebelah, keberhasilan itu tak bisa dipandang sebelah mata.
Di YMN pula Fifi bertemu dengan belahan jiwanya, Hardi Prayitno, sesama wartawan yang juga sama-sama berpenglihatan lemah. Mereka berdua jatuh cinta, meskipun keduanya tak bisa tahu wajah masing-masing dengan jelas. Awal April 2006, mereka berdua menikah.
Kini, bersama suami tercinta, Fifi menjalani hidupnya yang ceria. Sekarang tugas kewartawanannya juga lebih mudah karena ke mana-mana ia bersama seorang fotografer, yang sekaligus bertindak sebagai pemandu jalan.
Ia mengaku makin menemukan hikmah di balik cacat matanya. Dunia yang sekarang ia masuki ternyata tak kalah indah daripada dunianya yang dulu, ketika penglihatannya masih awas. "Begitu penglihatan saya berkurang, ternyata saya malah bisa melihat dunia yang lebih luas. Tuhan betul-betul sayang sama saya," katanya.
Penulis | : | M Sholekhudin |
Editor | : | M Sholekhudin |
KOMENTAR