Hidupnya hampir penuh oleh kesedihan. Kehilangan ibu, kehilangan penglihatan, kehilangan pekerjaan, kehilangan teman, dan hampir saja Fitriana kehilangan harapan. Untung, akhirnya ia menemukan kebahagiaan.
Sekilas tak ada yang tampak aneh pada Fitriana, biasa dipanggil Fifi. Yang mungkin sedikit aneh, dia sehari-hari bekerja sebagai wartawan padahal matanya cacat. Mata kirinya buta total, sementara mata kanannya hanya bisa melihat samar-samar.
Sebelumnya Fifi tak pernah membayangkan bahwa dirinya akan kehilangan penglihatan seperti yang ia alami saat ini. Sejak usia empat tahun, ia memang telah kehilangan penglihatan di mata kirinya. Meski begitu, ia tidak pernah mengalami kesulitan apa-apa.
Fifi menyelesaikan pendidikan seperti kebanyakan orang seusianya. Tahun 1996, ia lulus dari Universitas Riau, Pekanbaru, sebagai sarjana pendidikan bahasa Inggris. Begitu lulus, ia bekerja sebagai instruktur bahasa Inggris di sebuah perusahaan perminyakan di Pekanbaru.
Selama enam tahun ia bekerja di sana. Jalan hidupnya mulai berubah di akhir tahun 2002 ketika ibunya meninggal. Bagi Fifi, wafatnya sang ibu adalah cobaan berat dalam hidupnya. Ayahnya telah meninggal delapan tahun sebelumnya, sehingga ibunya menjadi tumpuan hidup sekaligus orang yang paling dekat dengan dia. Maklum saja, Fifi adalah anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan di keluarga. Tak mengherankan jika ia mendapat curahan kasih sayang lebih besar daripada kakak-kakaknya.
Sejak ibunya meninggal dunia, Fifi kerap merasa sedih. Kesedihan itu berlangsung lama dan berlarut-larut sampai mempengaruhi kehidupannya. Sampai suatu saat Fifi merasa, daya penglihatan mata kanannya mulai menurun. Ia yang sebelumnya tak mengalami hambatan dalam membaca, dalam waktu singkat tak bisa lagi melihat huruf. Semua benda yang dilihat menjadi tampak samar-samar belaka. Dunia berubah total, menyebabkan jiwa Fifi terguncang. "Mungkin karena pengaruh terlalu sedih itu," katanya menduga. Ia memang tak bisa melepaskan kesedihan ditinggal pergi ibu tercinta.
Karena takut kondisinya semakin parah, Fifi berangkat untuk berobat ke Jakarta. Ia menumpang di rumah tantenya di daerah Klender, Jakarta Timur. Ia berkonsultasi dengan para dokter mata di RSUPN Cipto Mangunkusumo, RS Mata Aini, hingga Jakarta Eye Center. Dokter menawarkan operasi. Tapi Fifi tak berani menjalani karena dokter pun tidak bisa menjamin keberhasilan operasi. Risiko gagal amat tinggi. Soalnya, penglihatan Fifi tinggal sebelah. Jika operasi gagal, ia malah akan buta total. "Saya tak mau ambil risiko," katanya beralasan.
Ia kemudian mencoba pengobatan alternatif. Cara ini pun tidak membuahkan hasil. Saat menjalani terapi alternatif ini, Fifi bertemu dengan seorang ibu yang menyarankan dia belajar huruf Braille. Betapa tersinggungnya Fifi mendengar saran itu. "Wong saya ingin sembuh kok malah divonis buta," ujarnya mengenang. Ia menganggap, saran itu seperti menyuruh orang yang sakit keras untuk menyiapkan kuburan.
Belajar huruf Braille
Jiwa Fifi memberontak. Ia belum bisa menerima jika dirinya buta. Ia tak bisa membayangkan dunia yang gelap tanpa cahaya. Jika buta, berarti ia tak bisa lagi bekerja, tak bisa lagi menikmati indahnya hidup. Ia betul-betul tak sanggup menjadi orang buta. Menakutkan!
Sejak itu mentalnya jatuh. Ia menyesali keadaan. Berbulan-bulan di Jakarta tanpa hasil, padahal rencananya semula untuk berobat. Ia banyak menghabiskan waktu dengan berdiam diri di rumah tantenya, merenungi nasibnya yang naas. Kawan-kawan di Pekanbaru tidak ada yang tahu keadaannya karena Fifi tidak memberitahu mereka. Mereka hanya tahu Fifi pergi ke Jakarta untuk menjalani pengobatan. "Saya tidak mau mereka tahu keadaan saya lalu kasihan sama saya," Fifi beralasan.
Dalam kesedihan itu, ia berusaha lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Banyak-banyak salat dan berdoa. Pelan-pelan akhirnya ia lebih bisa bersabar dan menerima keadaan. Ia yakin bahwa di balik setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Di balik musibah pasti ada hikmah. Ia sangat yakin akan hal itu. Sebelumnya, ia merasa Tuhan memberinya cobaan terlalu berat karena harus kehilangan ibu, lalu kehilangan penglihatan, kehilangan pekerjaan sekaligus kawan-kawannya. Semua terjadi berturut-turut dalam hitungan bulan.
Penulis | : | M Sholekhudin |
Editor | : | M Sholekhudin |
KOMENTAR