Intisari-Online.com - Saat Indonesia sedang dibuai aksi kuliner para celebrity chef, William Wongso justru tampil dengan konsep berbeda. Tiga puluh tahun kenyang melanglang buana di dunia kuliner internasional, William justru terpanggil untuk melindungi keaslian rasa dan nama kuliner Indonesia. Dengan mempertahankan keaslian rasa dan nama, ia yakin kuliner Nusantara akan berjaya di mancanegara.Ditemui di kantornya di bilangan Jakarta Selatan, Om Will, begitu kami menyapanya, mempersilakan kami masuk dan berbincang di dalam ruangan pribadinya. Mengenakan kemeja santai, lelaki yang terkenal karena mempopulerkan rendang padang ini bercerita tentang hasratnya di dunia kuliner, dan perjuangannya dalam mengangkat derajat kuliner Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi.
Perbincangan siang itu dimulainya dengan menjelaskan arti kuliner itu pada kami. Menurutnya, arti kuliner saat ini sudah bergeser jauh. Kuliner baginya bukanlah sekadar jalan-jalan dan makan-makan sebagaimana yang banyak dilakukan orang pada umumnya. “Sekarang banyak pecinta kuliner, asal makan enak lalu ngasih komentar, saya ini tau-nya enak dan enak sekali,” ujarnya
Bagi pria 65 tahun itu, kuliner adalah soal tasting dan menggali keunikan dari rasa sebuah masakan. Memori rasa dari sebuah masakan akan menjadi kekayaan tersendiri yang tidak bisa dipelajari secara akademis. “Even when you go to the best culinary school in the world,” tegas pemilik Vineth Bakery dan William Kafe Artistik itu.
Kekayaan akan rasa inilah yang menurutnya penting untuk dimiliki mereka yang ingin belajar kuliner. Rasa yang tersimpan dalam ingatan jadi modal berharga. Seseorang bisa menimbang-nimbang kepantasan sebuah harga makanan dan mengerti cara menikmati sebuah makanan bila ia mengerti dan mengenal rasanya, begitu ia berpendapat. Maka dari itu ia lebih memilih dipanggil filantropis rasa dibanding sekadar ahli kuliner biasa.
Makanan nusantara, kiatnya tak jelas
Kecintaan William akan kuliner berawal dari pembiasaan sang ayah, Soewadi Wongso yang memperkenalkannya kepada berbagai jenis masakan terutama masakan tradisional, soto madura salah satunya. Semasa kecil William tak pernah disuguhi rupa-rupa masakan mewah ala raja. “Saya tidak pernah diperkenalkan oleh ayah pada makanan mahal. Jadi saya bukan digedein dengan shark fin, abalone, dan lain sebagainya,” katanya.
Kemampuan memasak pun ia serap dari sang ayah yang lihai mengolah masakan. Walau tak pernah diajari secara khusus, William kerap memperhatikan sang ayah ketika memasak. Cara belajar autodidak ini diterapkan kembali ketika ia memutuskan terjun ke dunia kuliner saat berumur 30 tahun. Dengan rajin, ia mengunjungi setiap warung dan restoran mewah. Ia pelajari setiap teknik langsung dari para pemilik.
Untuk mempelajari setiap teknik dan rasa, William juga tak segan mengeluarkan daya dan dana lebih untuk mencicipi sebuah masakan. “Gak ada makan gratis. Kalau mau minum wine bagus, ya harus ikut wine club. Bayar mahal,” ujarnya. Ia pun tak malu untuk nongkrong di warung-warung pinggir jalan untuk menikmati dan mempelajari makanan-makanan yang enak.
Untuk lebih memperkaya pengetahuan kulinernya, William berkelana ke banyak tempat. Eropa adalah salah satu tujuan favoritnya. Ia mengaku dahulu gemar menjajal restoran terbaik di tempat tujuannya. “Wah, kalau dulu yang dicari itu the best restaurants in the world. Kalau gak bintang tiga, bintang lima, atau bintang satu. Semua dijelajah,” ujarnya.
Namun hari-hari itu sudah berlalu, ungkapnya. Bila dahulu ia mencari makanan-makanan mahal dan mewah di luaran seperti kaviar, truffle, atau foei gras, maka sekarang ia lebih memilih untuk menggali keunikan kuliner Nusantara. Menurut William, kuliner Indonesia penuh dengan keunikan, tapi sulit digali dan dikembangkan sebab kiatnya tak jelas.
“Kita itu dah ketinggalan sangat jauh dari Thailand, Malaysia, Singapura, India, dan Korea Selatan,” ujar William. Negara-negara yang disebutkan William itu memperjuangkan rasa asli pada setiap resepnya. Setiap masakan yang ada menggunakan bahan yang berasal dari negara dan daerah asalnya masing-masing. “Kamu gak bisa replicate gochujang (pasta cabai), karena yang bisa membuat gochujang hanya sebuah desa yang bernama Sunchang di Korea,” tambahnya. Konsep inilah, menurutnya, bisa diterapkan dan menjadi kekuatan di Indonesia.
Untuk mengaplikasikan konsep itu, maka William berusaha ‘mendidik’ masyarakat Indonesia tentang kekayaan dan keunikan kuliner mereka sendiri. Ia memulainya dengan memperkenalkan berbagai ragam kuliner unik seperti jambal pancing asal Cirebon, Jawa Barat misalnya. Dengan mengenalkan jambal pancing kepada konsumen, permintaan serta-merta akan naik, dan meningkatkan pendapatan para nelayan. Konsep ekonomi rakyat!
Sebagai penasehat kuliner maskapai Garuda Indonesia, ia menetapkan menu-menu Nusantara sebagai menu wajib di setiap penerbangan nasional dan internasional. “Di economy class harus ada makanan taste of indonesia. Dengan persyaratan, bumbunya harus dari Indonesia. Jadi saya melatih katering-katering untuk airline menggunakan bumbu-bumbu dari Indonesia dengan bahan mereka.” Dengan cara William ‘memaksa’ para pemilik katering untuk menggunakan bumbu-bumbu orisinal Indonesia, dan rasa otentik Indonesia akhirnya bisa juga dicicipi di mancanegara.
Menginggriskan, salah besar!
Selain memperkenalkan masakan Indonesia lewat udara, William juga rajin memperkenalkannya lewat berbagai konferensi atau seminar di luar negeri. Ia kerap bekerja sama dengan KBRI dan Badan Pengembangan Ekspor Nasional untuk mengajak para narasumber masakan tradisional dari daerah-daerah asal mereka. Ia tak mau orisinalitas dari setiap masakan tradisional itu bergeser.
Satu hal yang ia sesalkan, para pemilik restoran Indonesia kerap menggunakan nama-nama indah untuk menamai masakan-masakan Indonesia. “Tom Yung Goong gak pernah diubah namanya, Pad Thai gak pernah diubah juga 'kan?” Menurutnya, Indonesia memiliki kebiasaan menginggriskan menunya dan itulah kesalahan besar.
Dari sinilah keteguhan hati William untuk memperjuangkan keaslian kuliner Nusantara terlihat. Ia tak mau ikut-ikutan mengubah nama menu Nusantara, seperti yang banyak chef lain lakukan. Baginya, nama dan rasa asli Nusantara adalah jati diri bangsa yang jadi harga mati. Melalui langkah ini, William berharap ke depannya, dunia kuliner internasional mulai menyebut kuliner Indonesia sesuai nama aslinya.
Dari Padang untuk dunia
Prestasi terbesar William Wongso adalah kesuksesannya memperkenalkan rendang padang ke dunia. Rendang padang diperkenalkan dalam beberapa kesempatan internasional seperti sampling treat Garuda Indonesia. Tak disangka William, para tamu yang hadir untuk mencicipi begitu antusias. “Mereka yang sudah cicip rendang langsung antre lagi, jadi ada yang antre berkali-kali tuh,” ujarnya. William berharap kesempatan icip-icip itu akan memancing rasa penasaran pengunjung akan rasa otentik rendang padang di negaranya sendiri, Indonesia.
Pernah suatu kali William diundang secara pribadi ke sebuah konferensi internasional yang menghadirkan para praktisi kuliner top dunia. Di konferensi itu, ia mendapat kesempatan untuk mempresentasikan rendang padang. William tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Lima belas menit lamanya ia mempresentasikan keunikan rendang padang dari segi proses dan rasa. Ketika food tasting diadakan, rasa rendang padang milik William diakui banyak tamu sangat enak.
Selain menekankan keunikan bahan, proses, dan rasa pada rendang, William juga selalu menekankan penamaan yang tepat untuk masakan yang terkenal seantero Nusantara ini. “Orang selalu bilang rendang itu beef curry, itu salah! Rendang itu caramelised beef curry,” ujar Presiden International Wine & Food Society Cabang Jakarta itu.
Di akhir pembicaraan kami, William menyinggung perihal populernya dunia kuliner Indonesia akhir-akhir ini yang ditandai dengan bertambahnya jumlah praktisi kuliner muda. Menurutnya, para praktisi kuliner muda tetap harus belajar teknik memasak internasional, namun jangan ia melupakan masakan-masakan tradisional. “Kalau kamu tampil di forum internasional dan hanya bisa masakan barat, apa valuenya buat kamu?”