Intisari - Online.com -Target operasi Proyek Kereta Jakarta-Bandung terancam molor, membuat proyek investasi mentereng China di Indonesia ini menjadi sorotan lagi.
Dilansir dari Kompas.com, molornya proyek ini disebabkan karena menipisnya dana, akibat beberapa kali terjadi pembengkakan biaya konstruksi.
Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung mengalami pembengkakan biaya dan ternyata gagal memenuhi target awal penyelesaiannya.
Proyek ini awalnya diperhitungkan membutuhkan biaya sebesar Rp 86,5 triliun.
Kini biaya proyek ini meningkat menjadi Rp 114,24 triliun, membengkak sebesar Rp 27,09 triliun.
Target penyelesaian proyek ini mundur dari awalnya selesai tahun 2019 menjadi tahun 2022 bahkan mundur lagi ke tahun 2023.
Perusahaan yang menjalankan proyek ini, PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) yang sebelumnya menjual saham ke beberapa BUMN berharap kucuran duit APBN lewat skema PMN yang sudah disetujui DPR menjadi penyelamat.
Megaproyek China yang menjadi bagian dari program Belt and Road Initiative (BRI) di Indonesia ini memakan investasi sampai Rp 113,9 triliun.
Jumlah ini meleset dari perhitungan awal sebesar Rp 84,3 triliun.
Investasi ini juga sudah melampaui proposal investasi yang ditawarkan Jepang sebelumnya, yang ditolak oleh Indonesia.
PT KCIC mengatakan lewat keterangan resminya bahwa komposisi pendanaan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung adalah pinjaman dari China lewat China Development Bank (DCB) sebesar 75%.
Kemudian 25% sisanya ditutup dari setoran modal dari konsorsium dua negara yaitu Indonesia-China.
Pembagian talangan dana adalah konsorsium BUMN Indonesia menyetorkan kontribusi sebesar 60% dan sisanya dari modal konsorsium China, Beijing Yawan sebesar 40%.
Kesimpulannya, investasi awal megaproyek ini dan pembayaran cicilan pokok utang dan bunganya akan ditanggung oleh konsorsium PT KCIC.
Di dalamnya ada beberapa perusahaan BUMN yang terlibat antara lain PT KAI (Persero), PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, dan PTPN.
Empat BUMN ini membentuk usaha patungan yaitu PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia.
Perusahaan ini menggenggam saham 60% di PT KCIC.
Dari total kebutuhan dana investasi Kereta Cepat Jakarta Bandung, pinjaman dari CBD diperkirakan mencapai USD 4,55 miliar, setara dengan Rp 64,9 triliun.
Rp 4,3 triliun adalah base equity capital, atau kewajiban modal dasar dari konsorsium Indonesia.
Jumlah kewajiban dasar sisanya akan disetorkan dari konsorsium China.
Wijaya Karya dan tiga perusahaan lain harus menanggung Rp 4,3 triliun tersebut.
Cara keempat perusahaan ini menalangi Rp 4,3 triliun itu dengan KAI menyumbang Rp 440 miliar, Wijaya Karya Rp 240 miliar, Jasa Marga Rp 540 miliar dan PTPN VIII senilai Rp 3,1 triliun.
Sayangnya pandemi membuat keuangan perusahaan menjadi minim, sehingga keempat BUMN ini tidak bisa menjadi 'sapi perah' negara.
Akhirnya, APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) menjadi jalan keluar.
Hal ini membuat klausul bahwa pinjaman China tidak akan membuat Indonesia rugi gugur.
Jokowi sebelumnya menjanjikan proyek ini tanpa APBN sepeser pun.
Namun APBN ini harus segera dipakai untuk proyek KCJB, karena proyek ini merupakan proyek business to business, di mana biaya investasi sepenuhnya berasal dari modal anggota konsorsium dan pinjaman dari China.
Dana juga berasal dari penerbitan obligasi perusahaan, membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut pemerintah harus membantu pendanaan KCJB, agar pinjaman untuk KCIC dari CDB bisa segera dicairkan.
"Sebetulnya proyek ini jalan berdasarkan pinjaman dari CDB (China Development Bank) dan dia mencairkan. Sampai suatu titik tertentu enggak bisa dicairkan karena tidak ada ekuitas yang mendukungnya atau ekuitasnya sudah habis. Jadi sekarang ini proyek enggak mungkin bisa jalan either melalui pinjaman," ungkap Sri Mulyani beberapa waktu lalu.
Sementara itu, Corporate Secretary PT KCIC, Rahadian Ratry, menjelaskan dengan bergabungnya perusahaan China dalam konsorsium KCIC, maka pihak China juga menanggung risiko sesuai porsi saham miliknya bersama dengan konsosium BUMN Indonesia.
"Skema kerja sama yang ditawarkan oleh China adalah B to B. Artinya BUMN China telah berinvestasi dan menanggung untung rugi dan risiko dari kerja sama yang terjalin," kata Rahadian Ratry dalam keterangan resminya.
Penggunaan APBN
Pemerintah China sendiri sudah meminta Indonesia lewat CDB agar pemerintah Indonesia menanggung pembengkakan biaya proyek KCJB.
Walaupun pemerintah Indonesia sudah merencanakan pembiayaan lewat APBN, tetapi pemerintah Indonesia tidak bisa langsung menerima permintaan ini.
Kementerian Keuangan masih membahasnya sebagai bendahara APBN.
"Ada permintaan karena cost overrun ini agar di-cover oleh pemerintah Indonesia. Terkait hal ini, teman-teman dari Kementerian Keuangan baru membahas yang merupakan bagian kewajiban kami untuk kontribusi dalam pembangunan, bukan cost overrun," jelas Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kemenko Perekonomian Wahyu Utomo dikutip pada Rabu (27/7/2022).
Kementerian Keuangan juga masih menunggu arahan dari Presiden Jokowi, apakah pemerintah benar-benar akan menalangi.
Jokowi menegaskan beberapa kali jika proyek KCJB adalah proyek murni business to business (b to b) dan berjanji APBN tidak akan digunakan sepeser pun.
Jokowi juga menegaskan pemerintah harus terus memonitor dengan ketat proyek ini lewat Kemenko Perekonomian bersama Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi.