Intisari-Online.com -Presiden Republik Demokratik Timor Leste Jose Ramos Horta mengatakan, Pemerintah Timor Leste tidak pernah menghina Indonesia selama 20 tahun merdeka sejak 20 Mei 2002.
"Timor Leste, sepanjang 20 tahun perjuangan kami setelah merdeka, kami tidak pernah sekalipun menghina Indonesia, karena kami tidak dalam keadaan dicuci otak untuk membenci seseorang," ucap Jose Ramos Horta kepada Pemimpin Redaksi Kompas TV Rosiana Silalahi di Jakarta, dikutip dari Program Rosi, Jumat (22/7/2022).
Dia pun mengaku tidak pernah merendahkan Indonesia yang mayoritas beragama Islam, meski kebanyakan warganya beragama Katolik.
Lebih lanjut, dia mengapresiasi dukungan Indonesia untuk terus menjalin hubungan bilateral dengan Timor Leste selepas kemerdekaan, dari pemimpin yang satu ke pemimpin berikutnya.
Setelah upaya kemerdekaan pada tahun 2002 itu, seluruh warga Timor Leste menerima upaya rekonsiliasi antara warga Timor Timur dan Indonesia yang dilakukan oleh mantan presidennya, Xanana Gusmao.
Menurut dia, dukungan itu menandakan bahwa Indonesia tidak menggunakan cara murahan untuk membalas dendam, terlepas dari kenangan pahit dan manis, termasuk keputusan Timor Timur untuk melepaskan diri dari NKRI.
Meski begitu, Indonesia dengan Timor Leste memang meyimpan sejarah pahit tersendiri.
Salah satunya yakni terjadi peristiwa penembakan terhadap kurang lebih 250 pengunjuk rasa pro-kemerdekaan Timor Timur, yang diketahui sebagai Pembantaian Santa Cruz.
Melansir Kompas.com, peristiwa ini diawali pada bulan Oktober 1991, dijadwalkan akan ada delegasi dari anggota parlemen Portugal dan 12 wartawan akan berkunjung ke Timor Timur.
Mendengar kabar tersebut, para mahasiswa sudah antusias untuk menyambut kedatangan delegasi ini.
Para mahasiswa pro-kemerdekaan ini berharap dengan datangnya delegasi serta 12 wartawan ini akan membantu mereka menyuarakan isu-isu perjuangan di Timor Timur.
Namun, pemerintah Indonesia membatalkan rencana tersebut.
Indonesia keberatan bila kunjungan delegasi disertai para jurnalis, sementara di dalam negeri sendiri jurnalisme dibungkam.
Dari jauh hari sebelumnya, para pemuda Timor Leste sudah mempersiapkan sambutan atas kunjungan delegasi Portugal tersebut.
Namun, gerakan mereka ternyata diketahui oleh pemerintah Indonesia.
Para pemuda Timor Leste yang membuat spanduk-spanduk penyambutan delegasi Portugal di gereja Moteal Dili terus diawasi gerak-geriknya oleh TNI.
Hingga pada malam 27 Oktober 1991, sekelompok provokator yang bekerja untuk intelijen Indonesia mengejek para aktivis pro-kemerdekaan dan memancing mereka untuk ribut.
Para pemuda Timor Leste pun terpancing dan terjadi perkelahian malam itu juga.
Pagi harinya, 28 Oktober 1991, jasad aktivis pro-kemerdekaan, Sebastio Gomez, ditemukan tergeletak di dekat gereja Moteal.
Dua minggu setelahnya, pagi 12 November 1991, Pastur Alberto Ricardo memimpin misa arwah untuk memperingati kematian Gomez di gereja Moteal Dili.
Misa tersebut diikuti oleh ribuan umat Katolik Timor Leste.
Saat misa selesai pukul 07.00, sekitar 500 orang keluar dari gereja sambil membentangkan spanduk bergambar pemimpin pro-kemerdekaan Timor Leste Xanana Gusmao.
Mereka terus meneriakkan "Timor Leste! Timor Leste! Timor Leste!" sembari berjalan.
Para pengunjuk rasa terus berjalan hingga sekitar 4 kilometer menuju pemakaman Santa Cruz, tempat Gomez dimakamkan.
Sesampainya di pemakaman, tentara Indonesia sudah bersiaga di sana yang terdiri dari pasukan Kompi A Brimob 5485, Kompi A dan Kompi D Batalion 303, dan Kompi campuran.
Menurut kesaksian, tentara Indonesia menembaki massa secara brutal diikuti dengan berondongan senapan otomatis selama beberapa menit.
Saat itulah, kondisi menjadi sangat kacau. Suara sirine dan letusan tembakan terus terdengar.
Para demonstran ada yang berlarian dan ada juga yang berusaha mencari persembunyian di balik nisan-nisan Santa Cruz.
(*)