Intisari - Online.com - Harga minyak dunia telah meningkat drastis dalam beberapa bulan terakhir.
Pada Maret lalu, harga minyak mentah mencapai tingkat yang terakhir dilihat sepuluh tahun lalu, mencapai harga pasar Eropa sekitar USD 117 per barrel, yang meningkat dari sebelumnya USD 18,38 pada April 2020.
Hal ini kemudian mendorong biaya energi di seluruh dunia terutama biaya bahan bakar minyak (BBM).
Melansir artikel yang ditulis James Guild, pakar perdagangan, keuangan, dan perkembangan ekonomi di The Diplomat, harga minyak yang meningkat menyebabkan beberapa hal, terutama membuat banyak orang marah.
Tidak ada orang yang senang membayar lebih mahal untuk kebutuhan sehari-hari yang mereka perlukan setiap hari.
Atas alasan ini, banyak pemimpin politik memiliki kepentingan memastikan bahwa harga minyak akan tetap stabil dan terjangkau dan mereka akan melalui jalan panjang untuk melaluinya yaitu lewat subsidi, bebas pajak, dan lain sebagainya.
Namun harga mahal bisa digunakan untuk alasan lain, yaitu menggerakkan orang agar berhenti menggunakan bahan bakar fosil dan akhirnya menggunakan energi terbarukan lebih cepat dari yang diperkirakan.
Sayangnya, cara ini tidak berlaku bagi Asia Tenggara.
Menangani dampak harga minyak yang melambung tinggi melibatkan pertukaran.
Dalam beberapa kasus, harga dapat ditekan dengan kepentingan stabilitas politik.
Namun harga juga bisa dijual ke konsumen, yang kemudian bisa mempercepat menuju penggunaan energi dengan cara yang bersih dan berkelanjutan.
Hal ini memang menyakitkan, tapi bisa dipakai untuk menggapai tujuannya.
KOMENTAR