'Kumpul Kebo' dengan Gundik Justru 'Membunuh' Para Serdadu Militer Hindia Belanda, Penyakit Kelamin Menjangkiti hingga Capai Jumlah yang Tak Main-main

Muflika Nur Fuaddah
Muflika Nur Fuaddah

Editor

(Ilustrasi) Serdadu militer Hindia Belanda dan gundik pribumi.
(Ilustrasi) Serdadu militer Hindia Belanda dan gundik pribumi.

Intisari-Online.com -Seperti bangsa Eropa lainnya, faktor kedatangan Belanda ke Indonesia pada akhir abad ke-16 adalah untuk mencari rempah-rempah.

Kekayaan rempah-rempah yang dimiliki Indonesia kemudian memicu persaingan antara Belanda dengan bangsa Eropa lain yang lebih dulu sampai di kepulauan nusantara.

Bahkan, ambisi mereka untuk menguasai rempah-rempah juga menimbulkan persaingan antarkelompok atau kongsi dagang dalam satu bangsa.

Namunyang terjadi pada anggota militer di Hindia Belanda sepanjang abad ke-19 hingga abad ke-20 justru hal yang 'mengerikan.'

Mereka mulai terjangkiti penyakit kelaminseperti Herpes, Syphilis, Morbiveneris dan lain-lain.

Dalam kebijakannya, pemerintah Hindia Belanda hanya memberikan izin kontrak perkawinan kepada anggota setaraf Sersan Mayor, semua anggota militer yang dipertimbangkan untuk masuk dalam prajurit tetap, dan NCOs dan tentara tingkat bawah yang mendapat izin jenderal.

Dari munculnya kebijakan tersebut, bagi golongan militer yang tidak diberikan izin menikah legal akan menempuh jalan untuk mendapat pernikahan secara tidak legal.

Tidak adanya pengawasan langsung dari pemerintah, dengan mudah membawa para gundik atau Nyai masuk ke barak militer mereka.

Lahirnya para gundik pribumi di Hindia Belanda juga berkaitan erat dengan fenomena kemelaratan rakyat kelas bawah.

Mereka ada karena gejolak sosial yang terhimpit urusan ekonomi.

Melansir Nationalgeographic.grid.id, kenyataan mengenai kemiskinan inilah yang pada akhirnya melahirkan banyak wanita tunasusila di Hindia Belanda atau menjadi seorang Nyai bagi para lelaki Eropa yang bisa memberikan kehidupan yang layak dan berkecukupan secara ekonomi.

Pada akhirnya, perilaku seks bebas ini diketahui para pejabat tinggi militer hingga ke kalangan atas pemerintah Hindia Belanda.

Akibatnya, dikeluarkan kebijakan yang melarang tinggal satu atap secara tidak resmi dengan para Nyai.

Sebagaimana dilaporkan dalam surat Residen Menado pada tanggal 13 Juli 1889 No. 1321 kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, di dalam surat tersebut dituliskan bahwa:

"Residen Menado memberitahukan ada banyak orang terkena penyakit Syphilis sebagai akibat dari merajalelanya prostitusi yang dilakukan baik oleh pribumi maupun bangsa timur asing di daerah Gorontalo."

Dalam akhir laporannya juga disebutkan:

"Jumlah penderita yang harus dirawat setiap hari adalah 20 orang wanita tunasusila pada tanggal 26 Juni telah diadakan pemeriksaan kesehatan terhadap 22 orang wanita dan 17 di antaranya positif mengidap Syphilis."

Tak hanya di Manado, ternyata perilaku seks bebas dan infeksi penyakit kelamin juga terjadi di hampir seluruh wilayah di Hindia Belanda.

Banyaknya penderita penyakit kelamin di kalangan anggota militer Hindia Belanda, membuktikan bahwa penyakit kelamin yang terjadi sepanjang abad 19 bukanlah hal yang sepele.

Hingga memasuki abad ke-20, secara perlahan, banyak tentara yang mulai sembuh dari penyakitnya, meskipun yang lebih ironi, banyak diantara merekayang tewas karenanya.

Baca Juga: Romantisme Kisah Gundik Era Kolonial: Cinta Sejati Paul Verkerk dan Nyai Isah, Tak Melulu Soal Hasrat Urusan Dapur dan Kasur

(*)

Artikel Terkait