Sebelum meninggalkan Jakarta untuk menghadiri pertemuan di Jerman, Presiden Jokowi menekankan perlunya menghentikan perang Rusia-Ukraina dan mengatasi krisis pangan dan energi yang ditimbulkannya di seluruh dunia.
Terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan berkembang.
Menurut sebuah laporan yang diterbitkan oleh Program Pangan Dunia pada bulan Juni, sekitar 345 juta orang di 82 negara menghadapi kerawanan pangan akut karena melonjaknya harga pangan, bahan bakar dan pupuk.
Apalagi sebelum perang, Ukraina merupakan salah satu pemasok gandum terbesar Indonesia.
Oleh karenanya, masyarakat Indonesia pada umumnya tampaknya mendukung inisiatif Presiden Jokowi untuk bertemu dengan kedua pemimpin negara yang sedang berkonflik tersebut.
Banyak yang bahkan mengharapkan dia untuk berperan sebagai mediator.
Hikmahanto Juwana, seorang profesor hukum internasional di Universitas Indonesia, mengatakan kepada DW ada "harapan besar" di negara Asia Tenggara bahwa Presiden Jokowi akan menengahi dan membawa perdamaian antara Rusia dan Ukraina.
Tapi dia menganggap harapan keberhasilan ini dibesar-besarkan. Hal ini mengingat kompleksitas perang Rusia dan Ukraina.
Namun yang jelas adalah tujuan utama Presiden Jokowi adalah untuk mengurangi dampak perang di seluruh dunia. Bukan mengakhiri perang.
"Ini lebih realistis untuk membahas isu-isu mengenai membuka blokir akses ke makanan, pupuk dan energi," ucapvLina Alexandra, peneliti senior di Departemen Hubungan Internasional dari lembaga think tank Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang berbasis di Jakarta.
"Banyak negara di kawasan kita merasakan dampak perang. Tidak ada gandum, tidak ada pupuk, tidak ada benih."
"Saya kira ini akan menjadi prioritas Jokowi ketika mengunjungi Ukraina dan Rusia."
Penulis | : | Mentari DP |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR