Intisari-Online.com -Krisis yang terjadi di Sri Lanka berdampak pada banyak hal.
Tidak adanya suplai energi membuat banyak fasilitas publik seperti sekolah dan sebagian besar gedung pemerintahan telah ditutup.
Krisis di Srilanka pun akhirnya mendorong warganya untuk meninggalkan negaranya.
Alasan pertama yang menyebabkan Sri Lanka bangkrut adalah ketergantungan impor karena negara itu masih melakukan impor bahan-bahan pertanian seperti pupuk dan bahan bakar.
Masalah ini diperburuk dengan kenaikan harga komoditas global, yang menyebabkan harga ikut naik.
Nilai mata uang Sri Lanka pun terus menurun, begitu juga dengan cadangan devisa negara itu.
Per Maret 2022, cadangan devisa Sri Lanka tercatat 1,72 miliar dollar AS, terendah sejak November tahun lalu.
Cadangan devisa negara itu terus turun selama tiga bulan beruntun.
Kondisi ini kemudian membuat Sri Lanka susah membayar utang.
April lalu, Bank Sentral Sri Lanka (CBSL) mengumumkan gagal bayar 51 miliardollar AS terhadap utang luar negeri.
Mengutip Reuters, Kepala CBSL Nandalal Weerasinghe mengatakan,"Kami kehilangan kemampuan untuk membayar."
"Kami harus fokus untuk mengimpor kebutuhan pokok. Bukan membayar utang luar negeri. Kita sudah sampai di titik membayar utang menjadi sangat menantang dan tidak mungkin."
Per akhir 2021, utang luar negeri Sri Lanka adalah 50,72 miliar dollar AS.
Jumlah ini sudah 60,85% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Salah satu negara yang memberi pinjaman ke Sri Lanka adalah China, yang juga merupakan salah satu kreditur terbesar Sri Lanka.
Sri Lanka meminjam China untuk sejumlah infrastruktur proyek sejak 2005, melalui skema Belt and Road (BRI), termasuk pembangunan pelabuhan Hambantota.
Mengutip Times of India, total utang Sri Lanka ke China mencapai 8 miliar dollar AS, yakni sekitar 1/6 dari total utang luar negerinya.
Namun, sebagian proyek dinilai tak memberi manfaat ekonomi bagi negara itu.
China pun juga meminta jatah ekspor produk mereka ke Sri Lanka senilai 3,5 miliar dollar AS.
"Dari awal, kecerobohan meminjam dari China buat infrastruktur yang tak menguntungkan membuat negara itu di titik ini," tulis media itu mengutip laporan Hong Kong Post.
Menurut BBC, pemerintah Sri Lanka sudah mencoba melobi China awal tahun ini untuk restrukturisasi utang, namun China telah menolaknya dan beban Sri Lanka pun makin bertambah.
Pembangunan Pelabuhan Internasional Hambantota di Srilanka masih menjadi polemik meski telah bertahun-tahun proyek itu rampung.
Proyek yang dibangun di atas kemitraan publik-swasta antara China Merchants Port Holdings (HIPG) dan Sri Lanka Ports Authority ini menarik cukup banyak utang dari China.
Asian Review melaporkan, untuk pembangunan pelabuhan yang terletak di sepanjang pantai selatan pulau Samudra Hindia ini memakan dana senilai 1,5 miliar dollar AS.
Sebanyak 1,1 miliardollar AS dana itu berasal dari utang yang diberikan China.
Sebagai imbalan atas utang itu, menurut kesepakatan dengan CM Port pada Desember 2017, pemerintah China akan memiliki 85% saham dari pelabuhan dan mengantongi sewa dari pelabuhan itu selama 99 tahun.
Proyek yang dibangun di atas tanah reklamasi di pantai Kolombia ini dianggap 'menyengsarakan' Sri Lanka dan disebut sebagai proyek yang sia-sia yang menelan biaya sebesar 1,4 miliar dollar AS.
Tak heran kebangkrutan Sri Lanka yang salah satunya karena utang China ini lantas membuat masyarakat Indonesia cemas.
Melansir Kompas TV (7 Desember 2021), proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) sendiri membutuhkan dana Rp113 triliun, dikerjakan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang merupakan perusahaan patungan konsorsium BUMN Indonesia dengan konsorsium BUMN China.
Konsorsium BUMN Indonesia memiliki saham sebesar 60 persen di KCIC, sedangkan sisanya 40 persen dimiliki oleh konsorsium BUMN China yaitu Beijing Yawan HSR Co.Ltd.
Dalam perjalanannya, biaya pembangunan proyek tersebut ternyata membengkak 1,9 miliar dollar AS atau Rp27 triliun rupiah (asumsi kurs Rp14.300).
Sehingga, dana yang diperlukan meningkat, dari 6,07 miliar dollar AS atau Rp85 triliun, menjadi 7,97 miliar dollar AS atau Rp113 triliun.
Dari total kebutuhan Rp113 triliun, pinjaman China Development Bank (CDB) diperkirakan mencapai 4,55 miliar dolar AS atau setara Rp 64,9 triliun.
Kemudian base equity capital atau kewajiban modal dasar dari konsorsium Indonesia sebesar Rp4,3 triliun.
Sedangkan jumlah kewajiban dasar dari konsorsium China belum ada informasi resminya.