Ditagih Bayar Tahun Depan, Pakistan Dilaporkan Ikuti Negara Tetangga Indonesia Ini yang Terjebak dalam Jebakan Utang China, Kucuran Dana Segar yang Tak Sebanding dengan Cara Membayarnya

May N

Editor

Pasukan militan Baloch yang menyerang proyek China di Pakistan
Pasukan militan Baloch yang menyerang proyek China di Pakistan

Intisari - Online.com -Ekonomi Pakistan akan mengalami kemunduran ketika baru-baru ini China menuntut pembayaran utang pada November 2023 paling lambat, seperti melansir ndtv.com.

Padahal, ekonomi Pakistan sudah rapuh dan kini akan semakin rapuh lagi.

China menuntut pembayaran sebesar USD 55,6 juta (Rp 825 miliar) untuk Proyek Garis Oranye Lahore, seperti dilaporkan publikasi Italia Osservatorio Globalizzazione.

Sementara itu, pada akhir Maret lalu, cadangan devisa yang dimiliki oleh State Bank of Pakistan turun drastis sebesar USD 2,915 miliar, akibat pelunasan utang luar negeri.

Dengan demikian, Pakistan menghadapi masa depan ekonomi yang suram sejauh menyangkut hubungan dengan China.

Perusahaan China, China-Railway North Industries Corporation (CR-NORINCO) yang menyelesaikan Proyek Jalur Oranye Lahore pada tahun 2020 telah menuntut dari Otoritas Transit Massal Punjab, sejumlah USD 45,3 juta pada akhir Maret 2023 dan sisanya yang belum dibayar sebesar USD 10,5 juta pada akhir tahun.

CR-NORINCO bersikeras bahwa semua iuran harus dilunasi sebelum berakhirnya kontrak pada 16 November 2023, lapor Osservatorio Globalizzazione.

China telah melakukan tawar-menawar yang sulit dengan Pakistan dalam hal pengembalian pinjaman dan investasi lainnya di Pakistan.

Pada tahun fiskal 2021-2022, Pakistan membayar sekitar USD 150 juta untuk bunga ke China karena menggunakan fasilitas pembiayaan perdagangan China senilai USD 4,5 miliar.

Pada tahun keuangan 2019-2020, Pakistan membayar 120 juta dolar AS untuk bunga pinjaman 3 miliar dolar AS.

Permintaan China untuk pembayaran Jalur Lahore dilakukan pada minggu pertama April 2022 ketika dispensasi politik baru di bawah Perdana Menteri Shehbaz Sharif baru saja menjabat.

Sebelumnya, pada awal Maret 2022, China menyetujui permintaan Pakistan untuk menggulingkan pembayaran utang sebesar 4,2 miliar dolar AS untuk memberikan bantuan besar bagi sekutunya di segala cuaca, lapor Osservatorio Globalizzazione.

China telah cukup ketat dalam memulihkan uang dari Pakistan. Ambil contoh sektor energi Pakistan, di mana investor China telah berulang kali bersikeras untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan sponsor proyek yang ada untuk menarik investasi baru.

Beberapa proyek China di Pakistan menghadapi masalah dalam mengamankan asuransi untuk pinjaman mereka di China karena utang sirkular sektor energi Pakistan yang besar sekitar USD 14 miliar.

Pakistan harus membayar sekitar USD 1,3 miliar kepada produsen listrik China dan sejauh ini baru USD 280 juta yang telah dibayarkan.

Contoh lain dari tawar-menawar yang keras oleh China atas transaksi moneter vis-a-vis Pakistan didokumentasikan dengan baik dalam kasus Proyek Bendungan Dasu.

Tahun lalu, China menuntut USD 38 juta sebagai kompensasi bagi keluarga 36 insinyur yang tewas dalam serangan teror Bendungan Dasu.

Kompensasi dijadikan prasyarat untuk dimulainya kembali pekerjaan pada proyek tersebut.

Untuk menenangkan China, Pakistan kemudian setuju untuk membayar USD 11,6 juta sebagai kompensasi.

Sementara China sangat bertanggung jawab atas masalah utang Pakistan, itu adalah kesalahan penanganan ekonomi Pakistan oleh pemerintah berturut-turut yang telah menyebabkan kebuntuan saat ini.

Pinjaman ekstensif yang diambil dari China, Arab Saudi dan Qatar serta 13 pinjaman dari IMF selama 30 tahun (dengan sebagian besar program pinjaman dibatalkan di tengah jalan karena kegagalan memenuhi persyaratan pinjaman), merupakan penyebab utama penurunan ekonomi.

Pinjaman IMF 2019 senilai USD 6 miliar juga ditangguhkan, dan China telah menangani permintaan bantuan yang sering diberikan oleh Pakistan.

Strategi ini tidak membuahkan hasil dan hanya membuat Pakistan tenggelam lebih dalam ke dalam utang.

Pakistan harus mengamati dengan cermat perkembangan di Sri Lanka, karena itu bisa menjadi negara berikutnya yang menghadapi konsekuensi dari kebijakan ekonomi yang buruk dan beban utang yang berat, lapor Osservatorio Globalizzazione.

Baca Juga: Makin Barbar Menolak Dominasi China di Negaranya, Warga Pakistan Bentuk Pasukan Militan dan Teroris Wanita untuk Serang Pemukiman Pekerja China, Begini Kondisinya

Artikel Terkait