Intisari-Online.com – Di sebuah kota kecil di India, hiduplah dua saudara, Ananta dan Mukunda. Mukunda, besar dalam pertapaan. Sementara, Ananta, tidak menyukai kehidupan spiritual Mukunda, karena ia khawatir saudaranya itu tidak dapat hidup sejahtera.
Suatu hari, mereka bertengkar karena perbedaan keyakinan tersebut. Mukunda mengatakan, “Kau juga tahu Ananta, saya mencari warisan dari Tuhan.”
Ananta, seorang dengan profesi akuntan, cepat menukas, “Uang yang pertama, Tuhan bisa datang kemudian. Siapa tahu hidup kita mungkin akan lama?”
Mukunda tidak menyerah, “Tuhan tetap yang pertama, uang bisa datang kemudian! Siapa tahu? Hidup mungkin terlalu pendek.”
Pertengkaran mereka semakin panas hingga akhirnya sang kakak melemparkan tantangan. Ia mengusulkan untuk mengirim Mukunda dengan didampingi oleh tamannya, Narendra, ke kota terdekat dengan kereta api, tanpa uang, atau ketentuan lain. Sesuai kondisi tantangan, Mukunda dan Narendra tidak boleh meminta uang dari siapapun atau mengungkapkan indentitas atau pertaruhan ini kepada siapapun. Namun, mereka sudah harus kembali ke rumah sebelum tengah malam. Narendra bertindak sebagai saksi untuk memastikan Mukunda mematuhi pertaruhan ini. Ananta bermaksud untuk menguji apakah Tuhan akan memenuhi kebutuhan Mukunda akan makanan dan ongkos pulang ke rumah.
Mukunda menyambut tantangan itu. Ia memiliki keyakinan penuh bahwa Tuhan akan merawatnya selama tantangan yang tidak biasa itu dan ia pun naik kereta dengan saksi Narendra.
Kebetulan mereka bertemu dua orang asing, yang bersama mereka naik kereta, mengajak mereka ke sebuah pertapaan. Di sana sedang ada pesta mewah, yang pada mulanya dimaksudkan untuk menjamu para tamu kerajaan, tapi mereka membatalkan kunjungan pada saat terakhir. Saat Mukunda dan Narendra beristirahat setelah makan, seorang pemuda mendekati mereka dan menawarkan untuk menjadi tuan rumah bagi mereka berdua tanpa alasan yang jelas. Tanpa mereka berdua mengungkapkan identitas atau taruhan mereka, pemuda itu membawa mereka berjalan-jalan di sekitar desa itu dan menjamu mereka dengan layak.
Menjelang malam, saat mereka harus berpisah, pemuda itu memberikan dua tiket kereta api untuk kembali ke kota mereka dan sedikit uang. Ia mendesak mereka agar tidak menolak pemberiannya. Dan ketika hari berakhirnya tantangan, Mukunda dan Narenda baik-baik saja kembali ke rumah, meksipun tidak meminta uang kepada siapapun, makanan atau tiket kereta untuk kembali.
Mereka sampai di rumah dengan selamat. Ananta tercengang, “Untuk pertama kalinya saya mengerti bahwa kita harus mengurangi ambisi duniawi!” Ia pun meminta Mukunda untuk mengajarinya latihan rohani.
Iman kepada Tuhan adalah satu-satunya mata uang untuk kebutuhan kita. Tidak mudah mengembangkan iman demikian, kita harus sering melakukan latihan spiritual untuk itu.