Intisari-Online.com - Berbicara kebenaran dalam kekuasaan selalu menjadi strategi berisiko tinggi di China.
Penguasanya cenderung lebih menyukai sanjungan, dan para penulis yang melupakan hal ini akan menanggung risikonya sendiri.
"Sejarawan agung" China 2.000 tahun yang lalu Sima Qian adalah salah satu dari banyak orang yang telah membayar harga yang mengerikan untuk mengungkap kebenaran.
Melansir BBC, pada 99 SM, di perbatasan utara China, pasukan kekaisaran telah menyerah kepada orang barbar.
Di istana, berita itu disambut dengan keterkejutan dan Kaisar pun mengamuk.
Tetapi seorang pejabat pemula menentang etiket istana dengan membela jenderal yang kalah.
"Dia adalah seorang pria dengan banyak kemenangan terkenal untuk pujiannya, seorang pria yang jauh di atas orang biasa, sementara para abdi dalem ini - yang satu-satunya perhatiannya adalah melindungi diri mereka sendiri dan keluarga mereka - memanfaatkan satu kesalahan. Saya merasa sakit hati melihatnya," tulis Sima Qian dalam sebuah surat kepada seorang teman setelahnya.
Jenderal telah melakukan makar dengan menyerah. Dan Sima Qian telah melakukan makar dengan membelanya.
"Tidak ada teman saya yang datang membantu saya, tidak ada rekan saya yang berbicara sepatah kata pun atas nama saya," tulisnya.
Sima Qian melanjutkan, "Saya sendirian dengan inkuisitor saya, terkurung dalam kegelapan sel saya."
Pada akhirnya Sima Qian ditawari pilihan yang tidak menyenangkan yakni kematian atau pengebirian.
Untuk orang-orang sezamannya, kematian adalah satu-satunya pilihan yang terhormat tetapi Sima Qian memiliki tujuan yang lebih besar daripada istana China pada abad ke-1 SM.
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Tatik Ariyani |
KOMENTAR