Suami Meninggal, Seorang Wanita Diusir dari Rumah oleh Anak Tirinya

Ade Sulaeman

Editor

Suami Meninggal, Seorang Wanita Diusir dari Rumah oleh Anak Tirinya
Suami Meninggal, Seorang Wanita Diusir dari Rumah oleh Anak Tirinya

Intisari-Online.com - Salam sejahtera.Saya seorang perempuan (25 tahun), beragama Kristen. Pada Maret 2012 yang lalu saya menikah dengan sorang duda (42 tahun) yang sudah mempunyai 1 orang anak berumur 26 tahun. Kami menikah tanpa membuat perjanjian pra-nikah sebelumnya.

Pernikahan kami berawal bahagia dan kami semua hidup rukun, hingga pada akhirnya pada awal November 2012 suami saya tersebut meninggal dunia karena sakit. Selepas kepergian suami saya, anak tiri saya mulai menunjukkan perlakuan yang berbeda 180 derajat.

Dia menilai saya tidak berhak atas harta-harta peninggalan ayah kandungnya dikarenakan tidak ada perjanjian pra-nikah sebelumnya, dan untuk tetap tinggal di rumahnya saja saya sudah mengalami banyak sekali tekanan mental.

Hingga pada akhirnya dia mengusir saya dari rumah tersebut sejak Juni 2013. Ditengah rasa duka yang mendalam setelah ditinggal pergi oleh suami, saya justru mengalami banyak cobaan dari orang yang sudah saya anggap anak kandung sendiri, terlebih lagi saat ini saya mengandung janin dari hasil pernikahan tersebut.

Kepada LBH Mawar Saron, mohon berikan pencerahan, apakah benar saya tidak berhak atas harta suami saya tersebut dikarenakan tidak ada perjanjian pra-nikah? Jika saya berhak, upaya apa yang harus saya lakukan untuk memperolehnya?

Jawaban:

Terima kasih atas pertanyaan Anda. Kami sungguh prihatin atas masalah yang sedang Anda hadapi. Terkait permasalahan tersebut, kami akan jelaskan beberapa hal untuk mengetahui posisi Anda dari segi hukum, agar hak-hak yang Anda miliki tidak terampas oleh siapa pun, dengan alasan apapun.

Bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Islam, dasar hukum perkawinan yang berlaku adalah Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan bagi yang beragama Non-Islam berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan).

Berhubung Anda beragama Kristen, maka kami akan jelaskan permasalahan tersebut dari sudut pandang UU Perkawinan dan peraturan-peraturan terkait lainnya.

Kami akan menjelaskan terlebih dahulu tentang perjanjian pra-nikah. Perjanjian pra-nikah adalah suatu perjanjian yang dibuat sebelum dilangsungkannya pernikahan dan baru akan berlaku (mengikat) kepada kedua belah pihak (suami dan isteri) sejak saat perkawinan tersebut disahkan oleh Kantor Catatan Sipil.

Pada umumnya perjanjian pra-nikah berisi pengaturan tentang:

  1. Pembagian harta kekayaan suami istri, untuk membedakan yang mana akan menjadi milik suami, dan yang mana akan menjadi milik isteri;
  2. Apa saja yang menjadi tanggung jawab suami atau/dan isteri; dan/atau;
  3. Harta bawaan masing-masing pihak sebelum dilakukannya perkawinan.

Apabila suatu perkawinan tidak memiliki perjanjian pra-nikah, maka harta yang didapatkan masing-masing pihak selama berlangsungnya perkawinan menjadi satu (harta bersama), yang artinya, kedua belah pihak memiliki hak dan tanggung jawab yang sama atas harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung.

Selain itu, perjanjian pra-nikah bukanlah sesuatu yang mutlak harus dibuat oleh para pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Hal tersebut dapat dilihat dari Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, yaitu:

“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama DAPAT mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.”

Dari pasal tersebut, jelas bahwa terkait perjanjian pra-nikah diberikan kebebasan bagi setiap orang apakah ingin membuatnya atau tidak.

Namun demikian, terlepas ada atau tidaknya perjanjian pra-nikah, harta yang dimiliki suami Anda sebelum pernikahan turut menjadi bagian dari harta warisan yang dapat dibagikan kepada para ahli waris yang berhak, termasuk Anda.

Berbeda dengan cerai hidup yang mempersoalkan harta gono gini, dalam cerai mati, seluruh harta pewaris menjadi bagian dari harta peninggalan.

Tidak ada yang dapat menghalangi Anda untuk memperoleh bagian dari harta peninggalan tersebut, sebab apabila perkawinan yang Anda lakukan sudah sah secara hukum, maka Anda termasuk dalam ahli waris yang sah, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1066 KUHPer, yang berbunyi:

Pasal 1066 KUHPer

“Tiada seorang pun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam keadaan tak terbagi”

Memang tidak seluruh harta tersebut yang menjadi milik Anda, karena anak tiri Anda juga memiliki hak atas harta tersebut.

Selain itu, anak yang berada dalam kandungan Anda (jika dilahirkan) juga merupakan ahli waris yang berhak, namun apabila janin gugur di dalam kandungan dan tidak pernah lahir, maka akan berbeda lagi besaran bagian harta peninggalan untuk Anda dan anak tiri Anda (Pasal 836 KUHPerdata jo Pasal 2 KUHPerdata). Namun demikian, bagian Anda tidak lebih dari ¼ bagian dari harta peninggalan suami Anda (Pasal 352 a KUHPerdata).

Untuk mengambil kembali apa yang menjadi hak Anda, apabila jalan kekeluargaan tidak lagi tercapai, maka Anda dapat mengajukan Gugatan waris kepada Pengadilan Negeri yang sesuai dengan wilayah hukum Anda, agar Pengadilan memutuskan berapa bagian yang menjadi hak Anda serta melindunginya dari segala perampasan hak yang dilakukan oleh anak tiri Anda.

Demikian penjelasan secara hukum yang bisa kami sampaikan, kiranya Anda diberikan kekuatan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk keluar dari permasalahan tersebut dan mengambil kembali apa saja yang menjadi hak Anda. Terima kasih.

Sumber:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Terimakasih.

LBH Mawar Saron