Intisari-Online.com -Menjadi legenda Jakarta sejak bernama Batavia, kisah Nyai Dasima menyimpan sentimen rezim penjajah hingga dilema soal agama.
Kisah mengenai Nyai Dasima ini kemudiandiceritakan dalam novelet (novel pendek) 'Tjerita Njai Dasima' dengan cerita berlatar belakang tahun 1813 karya Gijsbert Francis yang diterbitkan oleh Kho Tjeng Bie & Co, Batavia tahun 1896.
Diceritakan pada 1813, hidup Edward W (Tuan W) dan Nyai Dasima di Curuk, Tangerang.
Dasima sendiri adalah perempuan pribumi dari Kampung Kuripan. Kehidupan rumah tangga mereka berlanjut ke Batavia, tempat Edward W bekerja di toko Inggris kawasan Kota.
Lokasi rumah Tuan W dan Nyai Dasima ada di Gambir, dekat Kali Ciliwung dan mereka dikaruniai seorang anak, gadis kecil bernama Nanci.
Kebutuhan hidup Nyai Dasima selalu tercukupi oleh Tuan W.
Penampilan Nyai Dasima pun selalu memesona warga pribumi, lengkap dengan perhiasan dan kemewahan yang dia punya.
Dalam waktu dua tahun, Nyai Dasima dikenal di kampung-kampung pribumi Batavia sebagai perempuan pribumi beragama Islam nan kaya raya, menjadi 'bini piare (istri piaraan yang tidak sah)' dari pria kulit putih Nasrani.
Kemasyhuran Nyai Dasima sampai juga ke telinga pria beristri yang tinggal di Pejambon yang bernama Samiun.
Nama istrinya adalah Hayati.
Samiun yang bekerja sebagai tukang tadah barang curian ini ingin mengambil hati Nyai Dasima.
Samiun pun menyuruh perempuan tua bernama Mak Buyung supaya menasihati Nyai Dasima agar meninggalkan hidup 'kumpul kebo' dengan Tuan W, dan memulai hidup sesuai ajaran agamanya sendiri.
Begini kata-kata Samiun ke Mak Buyung soal Nyai Dasima:
"Kasian sekali itoe prampoean; dia dipiara oleh satoe lelaki kafir, koewadjibannja kita orang Slam misti toentoen dianja, kasi perdjalanan jang betoel, tetapi dia kras hatinja, dia terlaloe tjinta kapada itoe kafir, maka itoe dengen akal kita misti tjaboet dianja dari sitoe," kata Samiun kepada Mak Buyung, sebagaimana tertulis dalam novelet karya G Francis.
Mak Buyung kemudian pergi dari Pejambon ke Gambir membawa misi: menghasut Nyai Dasima agar meninggalkan Tuan W yang kafir itu.
Modusnya, Mak Buyung mendatangi rumah Tuan W untuk melamar kerja sebagai pembantu, dengan cara ini, maka Mak Buyung bisa mulai menghasut Nyai Dasima. Strategi ini berhasil.
Mak Buyung mulai membujuk Nyai Dasima bahwa Nyai Dasima tidak bisa terus-terusan hidup sebagai 'nyai', sebagai istri tidak sah secara agama maupun secara negara.
Hubungan 'kumpul kebo' semacam ini sama saja zina dalam syariat Islam.
Mak Buyung menyarankan agar Nyai Dasima memperdalam agama Islam.
Pada akhirnya, Nyai Dasima keluar dari rumah gedongan Tuan W, meninggalkan anak kandungnya serta hidup mewahnya.
Nyai Dasima pergi ke rumah Samiun dan akhirnya menikah dengannya sebagai istri kedua.
Namun, gaya hidup Nyai Dasima berubah 180 derajat, dari nyonya kaya menjadi seperti pembantu rumah tangga.
Istri pertama Samiun, Hayati dan ibunya bernama Saleha memperlakukan Dasima bak budak.
Dasima mulai menyesal dan menyampaikan keluhannya ke Samiun.
Dia ingin bercerai dan pulang ke rumah orang tuanya di Kampung Kuripan.
Dalam kondisi emosi, Samiun keceplosan. Samiun bilang dia bersedia cerai dengan Dasima asalkan Dasima menyerahkan semua hartanya.
Dasima kaget mengetahui maksud terdalam suaminya selama ini ternyata ingin menguasai harta bendanya.
Samiun merasa terancam karena Dasima hendak melaporkan perkara ini ke aparat yang dekat dengan Tuan W.
Untuk menyelamatkan dirinya sekaligus menguasasi harta Dasima, dia berencana membunuh Dasima.
Samiun lalu berkoordinasi dengan preman Kwitang bernama Puasa (Poeasa/Puase), duit 100 pasmat dijanjikan Samiun sebagai upah untuk Puasa yang disuruhnya menghabisi nyawa Dasima.
Skenario pembunuhan dijalankan: Nyai Dasima diajak keluar rumah pada malam hari untuk mendengar hikayat Amir Hamzah di Kampung Ketapang.
Malam hari, dia dituntun oleh cahaya obor yang dibawa pembantu bernama Kuntum, diikuti Samiun, Dasima, dan paling belakang ada Puasa.
Sesampainya di tempat sepi belakang rumah Mak Musanip di pinggir kali, kepala Dasima dipukul oleh Puasa, lehernya digorok, mayatnya dihanyutkan ke kali.
Mayat Dasima ditemukan oleh pembantu dari Tuan W saat hendak memandikan Nanci.
Pembantu itu lantas melapor Tuan W yang akhirnya melapor ke polisi.
Belakangan pakar sastra Universiti Malaya, Umar Junus, dalam laporan berjudul 'Nyai Dasima and The Problem of Interpretation: Intertextuality, Reception Theory and New Historicism', menyebut penulis novelet, G Francis, seorang keturunan Inggris yang kemudian ikut bekerja di pemerintahan Belanda.
Novelet karya G Francis sangat kental bernuansa kolonialisme yang anti-pribumi, bahkan anti-Islam.
Baca Juga: Menapaki Jejak Peninggalan Masa Lalu di Kawasan Kebayoran Baru