Hidup sebagai bandit tentu saja bukan hidup yang gampang, karena mereka terus dalam pelarian dan hanya berani bergerak pada malam hari. Kadang-kadang tiga hari mereka tidak makan. Satu hari mereka menembus hutan belantara, hari lain menuruni lembah karang yang curam. Yang paling sulit tentu mendaki tebing karang gundul. Demikianlah Phoolan belajar hidup di tengah alam. Lambat laun telinganya terbiasa mendengar auman harimau atau kuikan babi hutan di tengah malam, kaok-kaok burung, atau gemerisiknya ular. Bila haus ia memetik buah liar. Tidak seperti di kampung, di hutan ia bebas memetik mangga langsung dari pohon.
Informasi tentang sasaran perampokan diperoleh dari informan. Vickram Mallah mempunyai jaringan mata-mata yang melaporkan keluarga mana yang perlu dirampok dan dihukum. Dengan mengenakan seragam inspektur polisi bintang dua, (Vickram berbintang tiga) lengkaplah atribut Phoolan sebagai bandit. Bahkan ia lebih dikenal sebagai Dasyu Sundari, alias perampok yang cantik.
Suatu hari dua orang informan melaporkan tentang seorang kaya di desa mereka yang tidak membayar upah para pekerja. Mereka menyerbu ke desa tersebut. Untuk pertama kalinya Phoolan menembakkan senapannya ke udara sebagai peringatan kepada penduduk desa. Lalu Vickram meneriakkan sedikit "pesan sponsor" lewat megafon, "Kalian semua telah membuat hidup orang-orang miskin ini merana. Sekarang saatnya kami membalas kalian! Saya Vickram Mallah. Phoolan Devi bersama saya di sini!" sambungnya sambil tersenyum memandang Phoolan. Sudah jadi kode etik kaum bandit di sini, si korban harus diberi tahu siapa yang sedang menghukum mereka, juga seluruh isi kampung.
Perampokan belum lengkap, bila tidak disertai penganiayaan menggunakan lathi. "Mereka harus diberi pelajaran," kilah Vickram. Begitu selesai, mereka mengangkut emas, perak, dan rupee, lalu berlalu sambil senapan mereka terus jedar-jedor. Persis seperti adegan film koboi. Hasil rampokan, kemudian dibagikan lagi kepada orang-orang kampung yang miskin. Itu sebabnya, bagi mereka, Vickram adalah pahlawan.
Kembali ke kampung
Toh, operasi mereka tak selalu berjalan mulus. Ada kalanya mereka dicegat polisi, namun Vickram tidak kehilangan akal. Dengan mudah ia dapat mengelabui mereka, tak cuma berkat seragam polisi yang dikenakannya, tapi juga karena logat bicaranya yang terpelajar. "Bahkan bisa berbahasa Inggris segala," tutur Phoolan tak menyembunyikan kekagumannya. Gambaran penuh kontroversi mengenai pribadi bandit "budiman" Vickram ini serasa makin lengkap, karena di saat senggangnya (biasanya siang hari), Vickram gemar membaca buku keagamaan, yang selalu ditaruhnya di dahan pohon supaya tidak kotor.
Peristiwa bersejarah bermula ketika Phoolan merindukan keluarganya. Vickram setuju mengantarnya, tapi ia dilarang menginap, karena amat berbahaya. Bukankah kini ia benar-benar seorang bandit, bahkan istri Vickram Mallah, bandit pelaksana keadilan dan pembalasan?
Mereka ke sana ketika suasana desa sepi karena penduduknya banyak yang sedang ke luar menonton festival. Diantar Vickram dan tiga orang anak buah, Phoolan masuk ke pekarangan rumahnya. Ibunya langsung akan kabur melihat orang-orang berseragam ke rumahnya.
"Amma! Ini aku, Phoolan!"
Tampak benar orangtuanya telah banyak menderita karena terus diteror. Ketika diberi uang 200 rupee, ibunya meratap, "Ibu tak ingin uangmu. Ibu ingin kamu pulang. Kami tak punya makanan. Kami dipukuli polisi dan mereka menyita semua biji-bijian kita. Gara-gara kamu, kita kehilangan semuanya!" Mereka juga mempermasalahkan Vickram yang menurut mereka telah merusak kehidupan Phoolan.
Tapi akhirnya mereka bisa mengerti, bahwa pulang bagi Phoolan akan berarti mati. Di pasar malam, seperti biasa mereka melancarkan tembakan ke udara, sehingga penduduk yang sedang santai menonton terpaku.
Phoolan menyalak galak lewat megafon, "Pesta sudah selesai, kalian anjing-anjing! Di mana Mayadin?" Sulit dipercaya. Masa bandit perempuan bersenjata itu Phoolan, yang selama ini mereka hina dan cerca bagai sampah? Bahkan ada yang sampai terkencing-kencing karena takutnya.
Sayang saat itu Mayadin berhasil beringsut menyelamatkan diri. Tapi mereka berhasil menangkap Mansukh, yang mengaku telah membuat tuduhan palsu bahwa Phoolan ikut merampok rumah Mayadin, bahwa ia seorang wanita gampangan, sehingga polisi berbuat semena-mena terhadap Phoolan. Mansukh akhirnya ditembak oleh Phoolan dan tiga I orang rekannya bersama-sama. Pada mayatnya, Vickram menulis, "Inilah anjing polisi, disajikan oleh Phoolan Devi." Keesokan harinya untuk pertama kalinya polisi mengumumkan hadiah untuk kepala Phoolan Devi.
Titisan dewi
Setelah kejadian itu, subuh-subuh seluruh kampung dipimpin Pradhan, mengikuti Moola yang memang ada janji untuk berjumpa dengan anaknya di luar kampung. Sebanyak 100 orang pria, berarak-arak dengan takzimnya. Untaian bunga tergantung di leher mereka, seperti bila mereka hendak beribadah ke kuil.
"Mau apa kalian?!" sera Vickram curiga.
"Kami datang untuk menyampaikan hormat," jawab Pradhan. "Kami datang bersama ibunya, yang juga ibu kami. Putrinya, Phoolan, itu seorang dewi. Kami datang untuk minta berkah bagi kampung kami dari Phoolan."
Mereka membawa untaian bunga, gula-gula, dan rupee sebagai persembahan. Mereka membungkuk berdoa dengan khusyuk di depan Phoolan. Dari orang terbuang yang hina dina, tiba-tiba ia disembah! Moola, ibunya, kini memohon maaf bagi mereka semua.
Sarpanach tidak mengaku telah menyebabkan semua penderitaan pada Phoolan. "Bukan aku yang menyuruh Vickram menculikmu," katanya terbata-bata. Tapi Vickram serta-merta menyergah, "Bukankah keluargamu yang memintaku menculiknya, karena kamu tak mau ia ada di desamu lagi? Apa kau menuduhku pembohong?" Popor senapannya langsung bicara. "Ikat dia!" perintahnya.
Sarpanach terseok-seok melata di tanah, menyentuh kaki Phoolan. "Ampuni aku, ampuni aku, duh dewi! Engkau benar benar seorang dewi!"
Mereka mempersembahkan uang yang jumlahnya barangkali 20.000 rupee, tapi semuanya dibakar oleh Phoolan. Ia jijik. Semua orang mengundangnya makan di rumahnya masing- masing supaya berkat jatuh ke rumah mereka. Tapi Phoolan hanya ingin pulang ke rumah bapaknya sendiri untuk berbagi kemiskinannya.
Di sanalah Mayadin datang menghampirinya, dengan pakaian compang-camping. Setiap beberapa langkah ia berhenti untuk mencium tanah. Di tangannya ia membawa nampan persembahan penuh rupee. Wajahnya penuh ketakutan, tangannya gemetar. Jelaslah semua orang ini ngeri karena hukuman mati yang telah dijatuhkan Phoolan terhadap Mansukh. Ia meletakkan persembahan itu di kaki Phoolan, sambil tetap bersujud dengan kening menyentuh lantai. Ia sungguh-sungguh pasrah. Tapi ketika Phoolan akan membunuhnya, ia dicegah Vickram.
"Ampuni aku, Phoolan. Jangan bunuh aku. Akan kulakukan apa saja permintaanmu. Aku akan memberikan ayahmu tanah yang menjadi haknya. Ayahnya juga menangis sambil memohon ampun untuk Mayadin.
"Biarkan dia hidup, demi ayahmu," ujar Vickram. Menurut Vickram, Phoolan pantang membunuh Mayadin karena ia masih kerabat. Jika dilakukannya juga, reputasinya sebagai bandit akan rusak.
Vickram menerima uang persembahan dari Mayadin sebesar 50.000 rupee. Gara-gara ini berhari-hari Phoolan mogok bicara dengannya. Saat itu juga dibuat surat perjanjian bahwa Mayadin akan memberikan tanah kepada Devidin. Tapi Devidin hanya mau meminta 5 bigha, "Karena hanya sebesar itu yang kubutuhkan," ia bersikukuh. Padahal ia berhak atas 80 bigha.
Atas desakan orangtuanya dan Vickram akhirnya Phoolan terpaksa berjanji bahwa ia tidak akan membunuh Mayadin. Sesuatu yang bakal lama disesalinya. (Intisari)
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR