Toh Carlos tak kehilangan rasa humor dan kejahilan layaknya anak-anak seusianya. Ia sering menyelinap ke luar setelah makan malam, entah sebelum atau sesudah berdoa Rosario, dan mengambil tongkat panjang untuk menakut-nakuti Julieta dan ibunya. Kadang ia memerankan adegan lucu agar ibu dan saudara kandungnya tertawa. Atau ia melempari dinding dengan bebatuan, dan kemudian tertawa, membuat mereka yang ada di dalam rumah gembira. Lain waktu, ia meniru perilaku orang lain, entah cara berjalannya, gaya bicaranya, atau gerak-gerik lainnya.
Dekat dengan anak muda
Keyakinan menjadi pastor semakin mengental setelah seorang pastor di tempatnya sekolah, Seminari St. Franciscus Xaverius di Dare, menceritakan kisah St. Franciscus Xaverius. "Saya berdoa lama sekali di dalam kapel seminari. Saya yakin, saya akan menjadi pastor," kenang Belo. Dua bulan sebelum hari jadinya yang ke-15, Carlos memutuskan bahwa suatu hari nanti ia akan bergabung dengan ordo keagamaan.
Dona Ermelinda sebenarnya keberatan dengan niat Carlos untuk meneruskan pendidikan kepastorannya di Portugal. Ia masih trauma dengan kematian kakak Carlos di sana. Tapi Carlos membujuknya. "Karena Antonio meninggal di sana, bukan berarti saya pergi ke sana untuk mati," katanya tegas. Pastor Alfonso Nacher juga ikut meyakinkan Ermelinda agar anaknya boleh pergi sebab ia memiliki semua kualitas untuk menjadi pastor yang baik. Carlos akhirnya bisa juga ke Portugal tahun 1968.
Semenjak kematian Antonio pada Oktober 1968, Belo menjadi satu dari beberapa orang istimewa dari Timor Timur yang belajar di Portugal. Untuk pertama kalinya ia melihat kereta api. Benar-benar guncangan yang mengejutkan. Ia rindu kampung halamannya.
Di utara kota Mogofores, sekitar 320 km utara Lisbon, Carlos menyelesaikan dua tahun kurikulum sekolah Portugis yang keras. Ia masuk kualifikasi untuk diterima di seminari utama di Manique do Estoril, daerah pantai yang cerah dengan sinar matahari dan dekat dengan Lisbon. "Sejak itu, saya merasa damai dengan segala hal yang kulakukan." Akhir pekannya diisi dengan variasi antara olahraga, musik, dan pencerahan religius. Ia masih meneruskan hobinya bertani: pada musim libur Carlos bekerja di sawah sekitar kota kuno Evora, tempat kakak tercintanya Antonio dikuburkan.
Pelajaran praktik lebih disenangi Carlos daripada pelajaran akademis. Popularitas yang dibangun berpondasikan hobinya berolahraga serta kedekatannya dengan anak-anak muda sangat membantunya dalam kunjungan keluarga.
Banyak orang Portugis yang ateis. Meski sering ditolak, Carlos tetap mengunjungi keluarga-keluarga itu satu per satu. Mereka memang membuka pintu, tapi tanggapannya dingin. "Makanya saya kemudian melakukan pendekatan melalui anak mereka. Saya jadi akrab dengan mereka, bahkan mereka pun mengundang saya makan malam. Mereka menyuguhkan makanan dan anggur yang enak. Saya sangat senang meski tidak pernah berharap untuk berhasil. Dengan pelahan pesan-pesan saya tersampaikan. Mereka mulai berdoa dan berdoa."
Pada 6 Oktober 1974 Carlos menjadi seorang Salesian. Sebelumnya, 25 April 1974, terjadi perubahan penting di negeri Portugal, yang dikenal dengan Revolusi April. Militer melakukan kudeta terhadap kediktatoran yang telah berkuasa selama 48 tahun. Tiupan angin perubahan itu berembus juga ke Timor Timur yang merupakan koloni Portugis. Partai-partai politik mulai bermunculan.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR