Intisari-Online.com - Santa Cruz adalah tantangan terbesar bagi keimanan dan filosofi Belo dalam kapasitasnya sebagai kepala Dioses Dili. Baginya, tragedi Santa Cruz adalah horor terbesar yang ia jumpai: banyak anak muda yang dia cintai terbunuh dan terluka. Di pihak lain, sebagai pengikut Ordo Salesian yang peduli pada pemuda, ia tidak punya daya untuk mencegahnya.
"Mengapa saya tidak diberi tahu?" tanyanya berulang-ulang. Belo akhirnya menyadari bahwa jika ia diberi tahu, pasti ia akan menghentikan aksi itu. Sama seperti dulu ketika kunjungan Dubes Amerika di Hotel Turismo.
Tragedi dan kesedihan memang menjadi bagian dari kehidupan Carlos Filipe Ximenes, begitu ia diberi nama waktu lahir. (Nama Belo ditambahkan untuk menghormati wali baptisnya, Abel da Conceicao Belo, pengajar dari misionari Portugis. Tapi, keluarga, teman, dan tetangganya memanggil Carlos Filipe.) Pada usia tiga tahun ia sudah kehilangan bapaknya, Domingos Vaz Pilipe. Waktu ia lahir pada 3 Februari 1948 pun Domingos sedang mengajar di sebuah dusun kecil, Wailakama, dekat tempat saudara-saudara dari pihak ibunya di sebuah bukit yang sekarang menjadi Bandara Baucau.
Dengan uang sedikit, Dona Ermelinda membeli tiga perkebunan dan menanam sayuran seperti selada, tomat, buncis, dan sayuran lainnya. Semua anaknya, termasuk Carlos, harus membantu ibu mereka merawat kebun. Kadang dari matahari terbit sampai malam menjelang. Toh Ermelinda mencoba memberikan kehangatan dan siraman agama, selain disiplin yang ketat. Itulah yang membuat Ermelinda sangat dihormati. "Ibu adalah orang yang paling berpengaruh dalam hidup saya," aku Belo. Carlos dan saudara-saudaranya menjadi mandiri.
Namun, merawat lima anak dengan rentang umur 3 - 15 tahun bukanlah hal yang gampang. Hal itu disadari oleh saudara-saudara ipar Ermelinda. Mereka akhirnya ikut mengasuh dua dari mereka, salah satunya Carlos. Hal itu menimbulkan kebingungan di hati Carlos yang berusia lima tahun. Mengapa ia disuruh tinggal di tempat yang jauh? Apakah karena aku tidak bekerja keras, tidak menaati perintah, dan tidak menjadi anak yang baik? Carlos bertanya dalam hatinya. Ia sedih dan bingung saat kepergiannya.
Suka humor
Dua tahun Carlos tinggal di rumah saudaranya dari pihak ayah di Quelicai. Bagaimanapun ia rindu dengan ibu dan saudara-saudaranya. Kesempatan itu datang ketika Pastor Jacinto Campos yang dulu membaptisnya berkunjung ke Quelicai. Setelah selesai memberikan pelayanannya, Pastor Campos siap-siap pergi. Tiba-tiba Carlos lari mendekati mobil Pastor dan memegang erat kemudinya.
"Saya ingin pulang, saya ingin ketemu ibu," bocah kecil itu meratap sambil menangis. Neneknya tak tahan melihat tangisan itu. Akhirnya, Carlos dibawa kembali ke Baucau, berkumpul kembali dengan saudara-saudaranya.
Belo kembali ke tanah tempat ia bermain. Meski harus bekerja keras membantu keluarga, Carlos merasa gembira. "Di malam hari setelah makan, kami sekeluarga berkumpul dalam kegembiraan. Kami berdoa Rosario. Ibu sering menggunakan kesempatan ini untuk memberi wejangan kepada kami, anak-anaknya. Setelah itu, kami semua bernyanyi lagu-lagu religius. Saya selalu menikmati malam-malam bersama keluarga. Sungguh sangat indah," Belo mengenang.
Belo sangat takjub dengan keimanan ibunya. Melalui teladannya, ia menyirami bakat religius Belo sehingga menjadi kuat. Sewaktu duduk di sekolah dasar, Carlos sering menemani ibunya berjalan kaki menuju ke desa-desa untuk mengunjungi orang sakit dan sejenisnya, khususnya mereka yang anggota kelompok swadaya Katolik tempat Ermelinda mencurahkan waktunya. Keluarga itu mengikuti misa harian di gereja yang letaknya 2 km. Saat sekolah dasar, Carlos tak pernah absen untuk berdoa di sebuah kapel dekat sekolah.
Sepertinya keadaan sudah dirancang begitu rupa sehingga jalan hidup Belo adalah menjadi pastor. Kakak perempuannya ingat, ketika masih bocah, Carlos suka berlagak bak seorang pastor. Ia menyelimuti dirinya dengan pakaian tradisional Timor Timur yang disebut "lipa", seolah-olah itu jubah pastor, dan mengucapkan kalimat, "Dominus vobiscum(Tuhan besertamu)."
Di lain kesempatan, ia berdiri di atas sebuah batu sendirian dan berpura-pura mengadakan misa; banyak anak-anak datang untuk mendengarkan apa yang ia katakan. Ia sering mengadakan "misa" dengan cara seperti itu.
Toh Carlos tak kehilangan rasa humor dan kejahilan layaknya anak-anak seusianya. Ia sering menyelinap ke luar setelah makan malam, entah sebelum atau sesudah berdoa Rosario, dan mengambil tongkat panjang untuk menakut-nakuti Julieta dan ibunya. Kadang ia memerankan adegan lucu agar ibu dan saudara kandungnya tertawa. Atau ia melempari dinding dengan bebatuan, dan kemudian tertawa, membuat mereka yang ada di dalam rumah gembira. Lain waktu, ia meniru perilaku orang lain, entah cara berjalannya, gaya bicaranya, atau gerak-gerik lainnya.
Dekat dengan anak muda
Keyakinan menjadi pastor semakin mengental setelah seorang pastor di tempatnya sekolah, Seminari St. Franciscus Xaverius di Dare, menceritakan kisah St. Franciscus Xaverius. "Saya berdoa lama sekali di dalam kapel seminari. Saya yakin, saya akan menjadi pastor," kenang Belo. Dua bulan sebelum hari jadinya yang ke-15, Carlos memutuskan bahwa suatu hari nanti ia akan bergabung dengan ordo keagamaan.
Dona Ermelinda sebenarnya keberatan dengan niat Carlos untuk meneruskan pendidikan kepastorannya di Portugal. Ia masih trauma dengan kematian kakak Carlos di sana. Tapi Carlos membujuknya. "Karena Antonio meninggal di sana, bukan berarti saya pergi ke sana untuk mati," katanya tegas. Pastor Alfonso Nacher juga ikut meyakinkan Ermelinda agar anaknya boleh pergi sebab ia memiliki semua kualitas untuk menjadi pastor yang baik. Carlos akhirnya bisa juga ke Portugal tahun 1968.
Semenjak kematian Antonio pada Oktober 1968, Belo menjadi satu dari beberapa orang istimewa dari Timor Timur yang belajar di Portugal. Untuk pertama kalinya ia melihat kereta api. Benar-benar guncangan yang mengejutkan. Ia rindu kampung halamannya.
Di utara kota Mogofores, sekitar 320 km utara Lisbon, Carlos menyelesaikan dua tahun kurikulum sekolah Portugis yang keras. Ia masuk kualifikasi untuk diterima di seminari utama di Manique do Estoril, daerah pantai yang cerah dengan sinar matahari dan dekat dengan Lisbon. "Sejak itu, saya merasa damai dengan segala hal yang kulakukan." Akhir pekannya diisi dengan variasi antara olahraga, musik, dan pencerahan religius. Ia masih meneruskan hobinya bertani: pada musim libur Carlos bekerja di sawah sekitar kota kuno Evora, tempat kakak tercintanya Antonio dikuburkan.
Pelajaran praktik lebih disenangi Carlos daripada pelajaran akademis. Popularitas yang dibangun berpondasikan hobinya berolahraga serta kedekatannya dengan anak-anak muda sangat membantunya dalam kunjungan keluarga.
Banyak orang Portugis yang ateis. Meski sering ditolak, Carlos tetap mengunjungi keluarga-keluarga itu satu per satu. Mereka memang membuka pintu, tapi tanggapannya dingin. "Makanya saya kemudian melakukan pendekatan melalui anak mereka. Saya jadi akrab dengan mereka, bahkan mereka pun mengundang saya makan malam. Mereka menyuguhkan makanan dan anggur yang enak. Saya sangat senang meski tidak pernah berharap untuk berhasil. Dengan pelahan pesan-pesan saya tersampaikan. Mereka mulai berdoa dan berdoa."
Pada 6 Oktober 1974 Carlos menjadi seorang Salesian. Sebelumnya, 25 April 1974, terjadi perubahan penting di negeri Portugal, yang dikenal dengan Revolusi April. Militer melakukan kudeta terhadap kediktatoran yang telah berkuasa selama 48 tahun. Tiupan angin perubahan itu berembus juga ke Timor Timur yang merupakan koloni Portugis. Partai-partai politik mulai bermunculan.