Sempat Ngotot Tak Ingin Biarkan Rusia Menang Atas Rusia, Negara Potensi Militer Terkuat Kedua NATO Ini Mendadak Berikan Kabar Buruk Ini Pada Ukraina, Apa itu?

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ukraina khawatir kekurangan senjata ketika Rusia mengalihkan fokus kampanye militernya ke Donbass.
Ukraina khawatir kekurangan senjata ketika Rusia mengalihkan fokus kampanye militernya ke Donbass.

Intisari-online.com - Sementara pertempuran Rusia-Ukraina di Donbass meningkat, Jerman menyatakan bahwa mereka tidak dapat lagi menyediakan senjata ke Kiev.

Padahal sebelumnya, Kanselir Jerman Olaf Scholz mengatakan Barat akan bersatu dan "tidak membiarkan Rusia menang" dalam operasi militer di Ukraina.

Olaf Scholz menekankan bahwa NATO akan terus melengkapi senjata untuk membantu Ukraina mempertahankan diri melawan tentara Rusia.

"Dari perspektif jangka pendek, kami tidak punya apa-apa lagi untuk dikirim ke Ukraina tanpa penundaan,"kata Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock, pada 20 April.

"Oleh karena itu, Berlin telah sepakat untuk mendukung mitra lain yang siap memasok Ukraina dengan senjata ala Soviet yang biasa mereka gunakan," katanya.

Baerbock menekankan bahwa cadangan senjata berat yang didedikasikan Jerman untuk membantu Ukraina sekarang telah habis.

Sebelumnya, Menteri Pertahanan Jerman Christine Lambrecht mengumumkan bahwa Jerman tidak lagi dapat menyediakan senjata atas permintaan Ukraina.

"Dengan pengiriman yang datang langsung dari persenjataan militer, saya harus terus terang mengakui bahwa kami telah mencapai batasnya," kata Christine Lambrecht.

Baca Juga: Walau Menang Telak, Tapi Rugi Bandar Bagi China dan Rusia, Siapa Sangka Barat Untung Besar dari Perang Rusia-Ukraina, Rahasia Senjata Ini Malah Dibongkar Habis-habisan

Menurut Christine Lambrecht, selain bantuan senjata ke Ukraina, Jerman masih perlu mempertahankan senjata cadangan untuk memastikan kemampuan pertahanan dan operasi NATO.

Fakta bahwa Jerman, negara yang dikatakan memiliki potensi militer terbesar kedua di NATO, setelah ASberhenti memasok senjata dikatakan menjadi kerugian besar bagi Ukraina.

Terutama dalam konteks militernya memasuki fase konflik dengan Rusia.

Medan perang yang luas di Donbass mengharuskan Ukraina membutuhkan sejumlah besar senjata dan amunisi untuk bertahan di garis sepanjang sekitar 480 km.

Sebelumnya, pada 19 April, Presiden Ukraina Zelensky mengatakan bahwa, jika menerima cukup senjata, negara itu akan mengakhiri perang dengan Rusia.

"Jika kami telah menerima semua senjata yang kami butuhkan, kami bisa mengakhiri perang ini, memulihkan perdamaian, dan membebaskan wilayah itu," kata Zelensky.

Pada 26 Februari, Jerman setuju untuk memberikan senjata ke Ukraina.

Jerman diyakini telah mengirim ke Ukraina sekitar 1.000 rudal anti-tank, lebih dari 500 peluncur rudal bergerak (MPADS) dan banyak senjata ringan lainnya. Jerman juga menyetujui pengiriman senjata buatan Jerman ke Ukraina oleh Belanda dan Estonia.

Pada 14 Maret, Jerman mengatakan bahwa, untuk menghindari risiko, akan merahasiakan bantuan senjata ke Ukraina.

Sebelum Rusia meluncurkan kampanye militer di Ukraina, Jerman menunjukkan sedikit minat untuk mengirim senjata mematikan ke Ukraina.

Berlin kemudian mengatakan bahwa "pemompaan" senjata tanpa henti ke Ukraina akan membuat marah Rusia dan menyebabkan ketegangan antara Moskow dan Kiev meningkat.

"Dari perspektif jangka pendek, kami tidak punya apa-apa lagi untuk dikirim ke Ukraina tanpa penundaan,"kata Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock, pada 20 April.

"Oleh karena itu, Berlin telah sepakat untuk mendukung mitra lain yang siap memasok Ukraina dengan senjata ala Soviet yang biasa mereka gunakan," tambahnya.

Baerbock menekankan bahwa cadangan senjata berat yang didedikasikan Jerman untuk membantu Ukraina sekarang telah habis.

Sebelumnya, Menteri Pertahanan Jerman Christine Lambrecht, mengumumkan bahwa negara itu tidak lagi dapat menyediakan senjata atas permintaan Ukraina.

"Dengan pengiriman yang datang langsung dari persenjataan militer, saya harus mengakui terus terang bahwa kami telah mencapai batas," kata Christine Lambrecht.

Artikel Terkait