Intisari-online.com - Sebagai ketua Kelompok negara berkembang dan maju (G20) saat ini.
Indonesia menilai seruan dari AS dan sekutu Eropanya untuk mengeluarkan Rusia dari G20 karena konflik konflik di Ukraina.
"Kami sedang melihat masalah ini. Memang, itu mengharuskan kami untuk mempertimbangkan dengan sangat hati-hati sebagai presiden G20 bagaimana menanggapinya," katanya.
"Kami akan mengomunikasikan pandangan kami kepada publik. Ketika saatnya tiba," menurut Straits Times mengutip Dr Dedy Permadi, khusus penasihat Menteri Informasi dan Komunikasi Indonesia.
Pernyataan itu disampaikan pada konferensi pers online pada 7 April, ketika seorang wartawan bertanya kepada Permadi tentang pernyataan Menteri Keuangan AS Jane Yellen.
Bahwa AS tidak akan berpartisipasi dalam beberapa pertemuan G20 jika, Rusia bergabung.
Sehari sebelumnya, Dr Yellen mengatakan kepada Komite Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat AS.
"Presiden Joe Biden telah menjelaskan dan saya tentu setuju dengannya bahwa aktivitas Rusia tidak dapat berjalan seperti biasa bagi siapa pun dan lembaga keuangan mana pun," katanya.
"Dia menuntut agar Rusia dikecualikan dari G20," tambahnya.
Pertemuan yang disebutkan Menteri Yellen adalah pertemuan para menteri keuangan G-20 dan gubernur bank sentral pada 20 April di sela-sela pertemuan Dana Moneter Internasional (IMF) dan pertemuan musim semi Bank Dunia di Washington, sebagai serta pertemuan-pertemuan delegasi yang bersangkutan.
Juga pada 7 April, Rusia dikeluarkan dari Dewan Hak Asasi Manusia PBB melalui keputusan Majelis Umum.
Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield menyebutnya sebagai "momen bersejarah dan penting".
Berbicara setelah pemungutan suara Majelis Umum PBB, Wakil Duta Besar Rusia untuk PBB Gennady Kuzmin menggambarkan langkah itu sebagai "langkah ilegal dan bermotivasi politik".
Menambahkan bahwa Rusia memutuskan untuk meninggalkan Dewan Hak Asasi Manusia lebih awal, menurut The Guardian.