Advertorial
Intisari-Online.com - Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan bercorak Buddha yang didirikan oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa pada abad ke-7.
Kerajaan ini terletak di tepian Sungai Musi, di daerah Palembang, Sumatera Selatan.
Masa kejayaannya diraih pada masa pemerintahan Raja Balaputradewa sekitar abad ke-9.
Pada masa pemerintahannya, kerajaan ini mengontrol perdagangan di jalur utama Selat Malaka.
Sementara daerah kekuasaannya, antara lain Sumatera dan pulau-pulau sekitar Jawa bagian barat, sebagian Jawa bagian tengah, sebagian Kalimantan, Semenanjung Melayu, dan hampir seluruh perairan Nusantara.
Kebesarannya juga dapat dilihat dari keberhasilannya di beberapa bidang, seperti bidang maritim, politik, dan ekonomi.
Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai salah satu kerajaan maritim yang kuat di pulau Sumatera dan memberi banyak pengaruh di Nusantara.
Sejumlah peninggalan Kerajaan Sriwijaya menjadi bukti keberadaannya, berikut ini 9 prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya.
1. Prasasti Talang Tuo
Prasasti ini tentang doa dedikasi yang menceritakan aliran Buddha yang dipakai pada masa Sriwijaya, yaitu Mahayana.
Selain itu, prasasti yang memiliki 14 baris kalimat ini menceritakan tentang pembangunan taman oleh Sri Jayanasa, yang dibuat untuk rakyat pada abad ke-7.
2. Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti ini berangka tahun 683 Masehi, ditulis dengan huruf Pallawa dan Bahasa Sanskerta.
Ditemukan pada 29 November 1920 di tepi Sungai Batang, Kedukan Bukit, Palembang, prasasti ini berisi tentang berdirinya Kerajaan Sriwijaya.
Juga tentang raja pertamanya yang bernama Sri Jayanegara, melakukan perjalanan suci menggunakan perahu bersama 20.000 tentaranya.
3. Prasasti Kota Kapur
Prasasti yang ditemukan di Pulau Bangka bagian Barat oleh J.K Van der Muelen pada 1892 ini menceritakan tentang kutukan bagi orang yang berani melanggar titah dari Raja Sriwijaya.
Baca Juga: Kalender Jawa Maret 2022, Lengkap dengan Weton Pasaran hingga Wuku
Prasasti Kota Kapur adalah salah satu dari lima batu prasasti kutukan yang dibuat oleh Dapunta Hyang, seorang penguasa dari Kerajaan Sriwijaya.
Berikut ini sedikit kutipan kutukan dalam Prasasti Kota Kapur sebagaimana ditranskripsikan dan diterjemahkan oleh Coédes, yaitu:
"Saramwat, pekasih, memaksakan kehendaknya pada orang lain dan sebagainya, semoga perbuatan-perbuatan itu tidak berhasil dan menghantam mereka yang bersalah melakukan perbuatan jahat itu; biar pula mereka mati kena kutuk. Tambahan pula biar mereka yang menghasut orang."
4. Prasasti Telaga Batu
Prasasti Telaga Batu ditemukan di kolam Telaga Biru, Kecamatan Ilir Timur II, Kota Palembang.
Isinya menyebutkan tentang kutukan untuk mereka yang berbuat jahat di kedatuan Sriwijaya.
5. Prasasti Karang Berahi
Prasasti Karang Berahi ditemukan di Desa Karang Berahi, Merangin, Jambi, pada 1904.
Isinya menjelaskan tentang kutukan bagi orang-orang yang melakukan kejahatan dan tidak setia dengan raja Kerajaan Sriwijaya.
6. Prasasti Hujung Langit
Prasasti ini ditemukan di Desa Haur Kuning, Lampung.
Meski sebagian besar tulisannya sudah sangat aus, prasasti berangka tahun 997 Masehi ini berkaitan dengan penetapan suatu daerah menjadi sima, daerah perdikan, seperti pada prasasti-prasasti yang ada di zaman Hindu-Buddha.
7. Prasasti Ligor
Prasasti Ligor ditemukan di Thailand bagian Selatan oleh Nakhon Si Thammarat.
Prasasti ini menceritakan tentang Raja Sriwijaya yang merupakan raja dari semua raja di dunia yang mendirikan Trisamaya Caitya untuk Karaja.
8. Prasasti Leiden
Prasasti Leiden ditulis pada lempengan tembaga dalam Bahasa Sanskerta serta Tamil.
Isi prasasti yang disimpan di museum Belanda ini menceritakan tentang hubungan baik dari Dinasti Chola dengan Dinasti Syailendra dari Sriwijaya.
9. Prasasti Palas Pasemah Prasasti
Prasasti ini ditemukan di pinggir rawa Desa Palas Pasemah, Lampung Selatan.
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini ditulis dalam 13 baris dan berhuruf Pallawa dengan Bahasa Melayu Kuno.
Isi prasasti ini hampir sama dengan beberapa prasasti peninggalan Sriwijaya lainnya yang ditemukan di Lampung, yaitu tentang kutukan bagi mereka yang tidak patuh kepada penguasa Kerajaan Sriwijaya.
(*)