Intisari-Online.com -Paguyuban Pengumpul Gombal Amoh (PPGA) adalah sekumpulan nggedhibal –sebutan bagi anggota PPGA— pengumpul perlengkapan militer tempo dulu, mulai dari seragam, baret, brevet, sampai surat-surat dan foto yang dikirimkan prajurit untuk kekasih hatinya!
PPGA berangkat dari komunitas online bursa airsoft.com. Namun karena dirasa kurang interaktif dan kurang cepat meng-update informasi, medio 2011 akhirnya dibuatlah laman Facebook khusus untuk para pengumpul gombal amoh (bahasa Jawa, yang artinya kain usang) seragam dan atribut militer tempo dulu. “Cita-citanya luhur, saling berbagi pengetahuan di dunia militer,” cetus Ari. Dipilihlah sinuwun —sebutan ketua di PPGA— yaitu Totok Sudiyanto (72).
Seiring berjalannya waktu, bukan hanya ilmu saja yang dibagikan. “Barang pun disharing. Contoh, jika ada anggota PPGA yang mendapatkan baret, bisa saja dikirim ke saya. Maksudnya, kita satu paguyuban, apa salahnya saling melengkapi koleksi,” kata Kristiadji.
Satu-satunya di dunia Bukan hanya mengumpulkan, para anggota PPGA juga memahami dengan detail setiap koleksinya. Dari para anggota, cerita sejarah perjuangan negara-negara terkuak secara terperinci. Tak jarang, barang koleksi para anggota adalah barang superlangka, yang bahkan di negaranya hampir bisa dipastikan sudah tidak ada lagi.
Andy W.(43), misalnya, anggota PPGA yang mengoleksi perlengkapan militer Perang Vietnam. Dia mempunyai baju militer dengan loreng motif gold tiger stripe, yang dipakai tentara Amerika pada zaman perang Vietnam. “Bahkan di Vietnam atau Amerika sendiri hampir tidak ada!” kata Andy.
Andi dengan koleksi perlengkapan militer Vietnam miliknya. (Kurniawan Adi Nugroho/Intisari)
Bahkan sampai rokok, gula, dan bekal tentara dari zaman Perang Vietman pun dikoleksi! (Kurniawan Adi Nugroho/Intisari)
Surat-surat, foto, seragam, dan perlengkapan milik salah seorang tentara zaman Perang Vietnam. (Kurniawan Adi Nugroho/Intisari)
Bukan cuma koleksi militer luar negeri, barang superlangka militer dalam negeri pun ada. Seperti misalnya Kristiadji Kuspambudi (48), yang getol mengoleksi khusus baret militer dunia dari masa ke masa, punya baret Tjakrabirawa, pasukan pengamanan presiden pada zaman Bung Karno. “Pasca G30S PKI, Resimen Tjakrabirawa dibubarkan pada 1969, dan semua atribut (Tjakrabirawa) dibakar,” papar Ari Premono, salah satu nggedhibal.
Kristiadji Kuspambudi dengan koleksi baret miliknya.(Kurniawan Adi Nugroho/Intisari)
Ada juga Peter S. Hartono Tonaja yang mengoleksi khusus perlengkapan dirgantara dunia. Kelakar teman-temannya, mungkin hanya pesawat dan kursi lontarnya saja yang belum dipunyai Peter! “Karena spesialisasi itu, maka di PPGA ada pakar-pakarnya sendiri. Bisa dibilang, tidak ada pertanyaan mengenai dunia militer yang tidak bisa dijawab PPGA,” papar Ari.
Blusukan dan nggendham
Anggota PPGA berasal dari beragam profesi, dari penulis sampai anggota militer. Semua mempunyai ketertarikan yang sama dengan dunia militer. Menurut Andy, ketertarikan mengumpulkan gombal amoh ini karena orangtua anggota pernah terjun di dunia militer bahkan terlibat langsung dalam peperangan. Bisa juga bukan anak prajurit, tapi akrab dengan dunia militer karena tinggal di kompleks militer. “Atau memang ‘gila’ sejak lahir, hahaha!” kelakar R. Visnu, salah satu pencetus PPGA.
Para anggota mengisahkan, proses blusukan –begitu PPGA menyebut proses perburuan barang koleksi mereka- kadang memerlukan perjuangan yang besar. Andy, misalnya, mempunyai jaringan dengan minat yang sama hampir di semua negara. Tak jarang dia harus merogoh sakunya dalam untuk menebus barang demi melengkapi koleksinya.
Tak jarang, mereka harus merayu orang untuk rela melepas barang yang dinilai berharga bagi PPGA. Seperti dikisahkan, ada satu anggota PPGA yang harus merayu tukang parkir melepaskan baju dan celananya demi mendapatkan satu set seragam militer langka yang dipakainya! Proses merayu seperti itu, kalo di PPGA disebutnya “nggendham”.
Seragam PPGA. "Kopasga" singkatan dari "Komando Pasukan Gombal Amoh". (Kurniawan Adi Nugroho/Intisari)
Hal itu juga yang membuat mereka memahami secara detail kisah historis di balik barang koleksinya. “Kadang kita dapat barang dari si pemakainya sendiri. Kita orangnya sok tahu. Maka kita cari literatur, diskusi, tanya pelakunya langsung, dijadikan bahan perbandingan,” kata Kristiadji. “Proses ini panjang,” sahut Peter menambahi.
Tantangan bukan sampai di situ saja. Ada anggota yang pernah mendapat masalah justru karena barang koleksinya. “Saya pernah diseret PM (polisi militer) karena memakai seragam Tjakrabirawa, hahaha!” kisah Ari.
Belum lagi masalah dengan keluarga, terutama para istri. “Karena kolektor, harga yang sepertinya tidak masuk akal menjadi masuk akal buat kami. Tapi tidak di mata istri, hahaha!” ujar Kristiadji. Namun bukan berarti hobi mereka tidak menghasilkan uang. Barang koleksi mereka juga bisa dijual lagi ke kolekter lain dengan harga tinggi. “Tapi hobi tidak bisa dinilai dengan uang ‘kan?” ujar Kristiadji mantap.
Dari mereka juga, terungkap keprihatinan yang mendalam terhadap apresiasi pemerintah Indonesia terhadap sejarah keprajuritan Indonesia. “Baretnya Banteng Raiders, kenapa Legermuseum Belanda yang punya; bukan di Satria Mandala?” tutur Ari. “Sorry to say, negara (Indonesia) tidak begitu peduli dengan sejarah militernya sendiri,” kata Peter masygul.