Salah Satu Profesor Termuda Itu, Kini Jadi Rektor Untar

Benny N Joewono

Penulis

Salah Satu Profesor Termuda Itu, Kini Jadi Rektor Untar
Salah Satu Profesor Termuda Itu, Kini Jadi Rektor Untar

Intisari-online.com - Tidak berlebihan apabila Prof Dr Agustinus Purna Irawan (45), yang pada Kamis (1/9) dilantik sebagai Rektor Universitas Tarumanegara (Untar) periode 2016/2020, juga masuk kategori Rektor termuda, setelah Anies Baswedan, Ph.D. Anies saat dilantik menjadi Rektor Universitas Paramadina berusia 38 tahun. Selain itu ada Prof Firmanzah, Ph.D, yang meraih gelar Profesor di usia 35 tahun. Dia dilantik sebagai Rektor Universitas Paramadina berusia 39 tahun."Iya mungkin... saya termasuk salah satu Profesor muda dan Rektor muda di Indonesia. Itu mungkin lho," ujar kelahiran 28 Agustus 1971 ini, merendah.Agustinus Purna Irawan, yang lebih dikenal dengan sebutan Api, meraih gelar Doktor di usia 38 tahun. Api dikukuhkan sebagai Guru Besar pada usia 43 tahun. Api termasuk salah satu dari deretan Guru Besar muda bersama Prof Eko Prasojo (46) - FISIP-UI, meraih gelar Profesor di usia 35 tahun, Prof Adrianus Meliala (50) - Kriminolog UI, meraih gelar Profesor di usia 40 tahun, Prof Ismunandar (45) - Pakar Kimia ITB, meraih gelar Profesor di usia 38 tahun.

Prof Gamantyo Hendranto (46) - Teknik Elektro ITS, meraih gelar Profesor di usia 37 tahun, Prof Syamsir Abduh (48) - Pakar teknologi Industri Universitas Trisakti, meraih gelar Profesor di usia 43 tahun, dan Prof Manlian Simanjuntak (42) - Pakar Keamanan Risiko Kebakaran Universitas Pelita Harapan, meraih gelar Profesor di usia 35 tahun.Api, yang merupakan singkatan dari namanya, sengaja dipilih agar senantiasa mampu mengobarkan semangat siapa saja yang menjadi koleganya. "Saya ingin selalu membakar semangat siapa pun. Jangan pernah menyerah, pasti selalu ada jalan. Selama memiliki talenta, keyakinan, dan semangat, kita pasti bisa," ujar penganut Katolik taat ini.Sangat SederhanaPerjalanan Api yang berasal dari kampung Musi Rawas, Sumatera Selatan untuk meraih cita-cita memang tidak mudah, bahkan untuk bersekolah di kota. Api berasal dari keluarga yang sangat sederhana. "Saya memang orang kampung dan orangtua saya juga sangat sederhana. Untuk membiayai sekolah kami anak-anaknya saja sangat sulit," tutur ayah tiga anak ini.Keinginan Api untuk sekolah di kota Palembang pun pupus karena kondisi ekonomi orangtuanya tidak memungkinkan. Api menyelesaikan SMP Xaverius di Tugu Mulya, Musi Rawas dan SMA Xaverius di Lubuklinggau, Musi Rawas. "Penghasilan orangtua saya sebagai guru, tidak memungkinkan saya bisa sekolah di kota besar, seperti Palembang," kata Dosen Berprestasi Kopertis Wilayah III, 2011 ini.Lulus SMA, Api melanjutkan ke Fakultas Teknik Mesin, Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta. Untuk berangkat menuju Yogyakarta pun sulit, karena tidak ada biaya. "Ayah saya lalu menitipkan saya ke sopir bus. Karena tidak membayar, saya harus duduk di papan yang dipasang di sela-sela tempat kursi penumpang bus. Selama belasan jam hingga sampai Yogyakarta," kenang penerima Hibah Bersaing Dikti Kemendikbud, 2011.Agustinus, begitu panggilan resminya di kampus Untar ini bercerita, hidupnya penuh keprihatinan saat kuliah Yogyakarta, hingga lulus S1. Sempat bekerja di beberapa perusahaan, namun panggilannya sebagai pendidik begitu kuat, Api pun memutuskan menjadi dosen."Mungkin karena orangtua saya guru. Jadi di tubuh saya mengalir darah pendidik dari orangtua," jelas Dosen Berprestasi Bidang Penelitian dan Publikasi Fakultas Teknik Untar, 2012 ini.

Perguruan Tinggi Terbaik

Pada 2001, Api memperoleh kesempatan untuk melanjutkan program studi pasca sarjana dan doktoral di Fakultas Teknik Mesin Universitas Indonesia (UI) Jakarta. Dan di usia 39 tahun, Api berhasil meraih gelar doktor.Api lalu mengembangkan penelitan tentang produk dari bahan teknik komposit serat alam. Ia meneliti dan mengembangkan serat alam tersebut menjadi produk alternatif kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk menggantikan produk-produk sintesis yang berbahaya, lantaran tidak bisa didaur ulang.“Jika tidak bisa didaur ulang, pasti berbahaya, karena akan menyebabkan polusi. Berbeda dengan bahan alam yang bisa didaur ulang,” ungkap Penerima Hibah Unggulan Perguruan Tinggi Dikti-LPPI Untar, 2013 ini.Kini keinginan Api setelah resmi dilantik sebagai Rektor, adalah membawa Untar menjadi universitas yang disegani dan diperhitungkan sebagai perguruan tinggi terbaik."Ada tiga pilar yang menjadi pijakan kami untuk mewujudkan itu ke depan, yaitu integritas, profesionalisme dan entrepreneurship. Ketiganya kami elaborasikan dalam menyiapkan kapasitas dosen dan mengimplementasikan iptek serta inovasi di kampus ini," ujar suami Theresia Dwinita Laksmidewi ini merendah. (bnj)