Intisari-Online.com - Baru-baru ini beredar narasi tentang tim nasional (timnas) Thailand yang didiskualifikasi dari Final Piala AFF Suzuki 2021 leg kedua melawan timnas Indonesia karena disebut melakukandoping.
Awal mula isu timnas Thailand didiskualifikasi dari FinalPiala AFF Suzuki Cup 2021 vs Indonesia karena doping adalah dari media sosial.
Mulanya dari video akun YouTube Gila Bola yang berjudul'AFF GEMPAR‼️ THAILAND DI DISKUALIFI KASI PERTADINGAN HARUS DI ULANG??'
Hingga kini, video tersebut disaksikan hampir 1 juta kali.
Namun,faktanya, hingga saat ini tidak ada informasi atau berita valid mengenai diskualifikasi tersebut.
Baik FIFA, AFF, ataupun timnas Thailand sama sekali tidak memberikan pernyataan mengenai diskualifikasi tersebut.
Menurutpenelusuran, akun YouTubeGila Bola memang kerap membuat video yang keakuratannya diragukan.
Beberapa waktu lalu, akun tersebut membuat video berjudul hampir senada, yakni menyebut Vietnam mengundurkan diri dari Piala AFF Suzuki Cup 2020.
Terlepas dari isu tersebut,istilah doping sendiri mengacu pada penggunaan zat terlarang dalam olahraga kompetitif.
Dilansir Kompas.com dari laman Sports Med Today, doping, yang juga disebut obat peningkat kinerja (PED), digunakan oleh atlet untuk meningkatkan kinerja atletik mereka.
Kerja fisik memang meningkat, tapi doping dilarang digunakan karena banyak alasan, yang bertentangan dengan semangat olahraga.
Alasan utama yang membuat doping dilarang adalah keselamatan karena banyak dari zat-zat ini memiliki efek samping yang berbahaya dan tahan lama.
Atlet yang memakai doping berpotensi mengalami masalah kardiovaskular, seperti irama jantung tidak teratur, tekanan darah tinggi, serangan jantung, sampai kematian mendadak.
Sistem saraf pusat si pemakai doping juga bisa terganggu.
Hal ini memicu insomnia, kecemasan, depresi, perilaku agresif, bunuh diri, sakit kepala, kecanduan penarikan, psikosis, tremor, pusing, hingga stroke.
Tak hanya itu, sistem hormonal seperti infertilitas, ginekomastia (payudara membesar), penurunan ukuran testis, gairah seks rendah, akromegali (tulang kasar di wajah, tangan, dan kaki), dan kanker, juga bisa terjadi.
Alasan kedua doping dilarang lebih merupakan dilema moral.
Zat terlarang ini digunakan untuk mendapatkan keuntungan yang tidak adil, yang secara signifikan mendevaluasi semangat persaingan.
Sebagaimana dinyatakan oleh Badan Anti-Doping Dunia (WADA), tujuan dari program anti-doping sudah amat jelas, yakni:
“Melindungi hak dasar atlet untuk berpartisipasi dalam olahraga bebas doping dan dengan demikian meningkatkan kesehatan, keadilan, dan kesetaraan bagi atlet di seluruh dunia.”
Atlet yang berpartisipasi dalam olahraga yang telah menandatangani kode WADA tunduk pada pengujian masuk dan keluar kompetisi secara acak.
Pengujian dapat dilakukan pada sampel urin dan/atau darah tergantung pada zat yang diuji.
Frekuensi dan jenis pengujian bervariasi antara olahraga, berdasarkan berbagai faktor, termasuk riwayat doping dalam olahraga, jenis olahraga (misalnya, daya tahan, kekuatan/kekuatan), zat yang diambil, dan durasi musim.
Hukuman untuk pelanggaran doping sangat bervariasi antar olahraga.
Dalam olahraga yang mengikuti Kode WADA, satu pelanggaran dapat mengakibatkan larangan dari kompetisi olahraga hingga 2 tahun.
Sementara, pelanggaran kedua dapat mengakibatkan larangan seumur hidup.