Tak Hanya Biaya Buruh yang Rendah, Ternyata Ini 6 Alasan Kenapa Banyak Produk 'Made in China' Mendunia

Muflika Nur Fuaddah
Muflika Nur Fuaddah

Editor

(Ilustrasi) Produk Made in China
(Ilustrasi) Produk Made in China

Intisari-Online.com - Seperti yang Anda ketahui, berbagai produk negara Chinanampaknya ada di mana-mana.

Barangkali hal ini juga sempat membuat Anda bertanya-tanya, mengapa 'semua' produk made in China?

Ternyata alasannya tidak sekedarbiaya tenaga kerja yang rendah.

Melansir Kompas.com, berikutbeberapa alasan kenapa banyak produk made in China di dunia:

Baca Juga: Media Rusia Bocorkan Penampakan Tank yang Mengambang di Laut Natuna Indonesia, Terkuak Desainnya Disebut Menyerupai Senjata Militer Milik China dan Amerika Ini, Asa-Usulnya Masih Misterius!

1. Rendahnya kepatuhan hukum

Pabrik-pabrik asal China dikenal tidak mengikuti sebagian besar undang-undang dan pedoman dasar mengenai pekerja anak, pekerja paksa, kesehatan dan keselamatan pekerja, udang-undang upah minimum, dan perlindungan lingkungan.

Secara historis, pabrik-pabrik China telah mempekerjakan pekerja anak, menereapkan jam kerja yang panjang, dan tidak memberikan asuransi kompensasi kepada pekerja.

Beberapa pabrik bahkan memiliki kebijakan di mana pekerja dibayar setahun sekali sebagai sebuah strategi untuk mencegah pekerja berhenti sebelum akhir tahun.

Dihadapkan dengan kritik-kritik mengenai hal tersebut, pemerintah China mengklaim telah melembagakan reformasi yang melindungi hak-hak pekerja dan memberikan kompensasi yang lebih adil.

Baca Juga: Berasal dari Perahu Putra Mahkota Kerajaan Luwu yang Lamar Gadis China, Inilah Kisah di Balik Pembuatan Perahu Phinisi, Perahu Tradisional Khas Suku Bugis yang Mendunia

Namun, kepatuhan terhadap aturan di banyak industri rendah dan perubahan berjalan lambat.

2. Mata uang China

China pernah dituduh menekan nilai mata uangnya bernama Yuan untuk mengunggulkan produk ekspornya tehadap produk yang sama yang diproduksi oleh pesaingnya yaitu AS.

China terus memantau apresiasi nilai mata uangnya dengan membeli dollar AS dan menjual Yuan.

Hal ini menyebabkan nilai Yuan undervalued sebesar 30 persen terhadap dollar pada akhir 2005.

Namun, tren ini berbalik sehingga membuat nili Yuan melemah terhadap dollar AS mulai Juni 2018 ketika AS memberlakukan tarif pada produk China.

Baca Juga: Sungguh Kebangetan, Pantas Saja Amerika Siap Pasang Badan Untuk Taiwan, Ternyata ChinaTerciduk Telah Nyelonong ke Wilayah Taiwan Sebanyak 1.000 Kali Selama Tahun 2021

Pada 8 Agustus 2019, bank sentral China menurunkan nilai Yuan menjadi 7,0205 per dollar AS, level terlemah sejak April 2008.

Pelemahan Yuan membuat ekspor China lebih menarik dan dipandang sebagai respons China terhadap perang dagangnya dengan AS.

3. Upah pekerja rendah

China merupakan negara terpadat di dunia dengan populasi penduduk sekitar 1,39 juta orang.

Hal ini membuat tenaga kerja di China membeludak sementara lapangan pekerjaan yang tidak dapat menampung semuanya.

Sesuai dengan hukum peawaran dan permintaan, jika tenaga kerja banyak dan lapangan kerja hanya sedikit tentu akan menjadikan upah para pekerja rendah.

Baca Juga: Saling Pepet di Luar Angkasa,China Mencak-mencak Begitu Tahu Satelit Luar Angkasa Elon Musk Kepergok Lakukan Hal Ini pada Pesawat Ruang Angkasa China

Selain itu, mayoritas warga negeri panda ini merupakan kelas menengah ke bawah atau miskin yang hidup di pedesaan.

China juga tidak mengikuti secara ketat undang-undang yang berkaitan dengan upah minimum pekerja, di mana hal ini yang lebih banyak dipatuhi negara barat.

Namun, situasi ini tampaknya berubah karena saat ini banyak provinsi di China melaporkan telah meningkatkan upah minimum daerahnya untuk mengikuti kenaikan biaya hidup sehari-hari.

4. Perang tarif produk China dan AS

Pada Juli 2018, AS mengumumkan tarif khusus produk China dengan menargetkan 818 produk impor China senilai 34 miliar dollar AS.

Ini adalah putaran pertama dari banyak tarif yang dikenakan oleh kedua negara.

Pengenaan tarif tersebut menghasilkan 550 miliar dollar AS untuk AS yang diterapkan pada produk China dan China atas produk AS senilai 185 miliar dollar AS per Februari 2020.

Seiring waktu, AS diperkirakan akan merasakan dampak dari perang tarif ini dalam bentuk peningkatan biaya barang, sementara ekonomi China diperkirakan akan mengalami perlambatan.

Baca Juga: Digadang-gadang SanggupMenahan Laju Penyebaran Virus Corona, Strategi Nol Covid ChinaMalah Jadi Senjata Makan Tuan, Satu Kota Kembali 'Ditutup' Karena Wabah Baru

5. Diskon pajak bagi konsumen

Kebijakan pajak ekspor dimulai tahun 1985 di China sebagai cara untuk meningkatkan daya saing ekspornya dengan menghapuskan pajak berganda atas barang ekspor.

Barang ekspor dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) nol persen, yang berarti mereka menikmati kebijakan pembebasan PPN atau potongan harga.

Selain itu, produk konsumen dari China dibebaskan dari pajak impor apa pun.

Tarif pajak yang lebih rendah ini membantu menjaga biaya produksi tetap rendah, memungkinkan negara untuk menarik investor dan perusahaan yang ingin memproduksi barang-barang murah.

6. Ekosistem bisnis yang baik

Seperti diketahui, industri produksi tidak berlangsung sendiri-sendiri melainkan bergantung pada jaringan pemasok, produsen komponen, distributor, instansi pemerintah, dan pelanggan yang semuanya terlibat dalam proses produksi melalui persaingan dan kerjasama.

Nah ekosistem bisnis tersebut telah berkembang cukup banyak di China selama 30 tahun terakhir.

Misalnya di Shenzhen, sebuah kota yang berbatasan dengan Hong Kong ini telah berkembang sebagai pusat industri elektronik.

Sehnzen telah mengembangkan ekosistem untuk mendukung rantai pasokan manufaktur, termasuk produsen komponen, pekerja berbiaya rendah, tenaga kerja teknis, pemasok perakitan, dan pelanggan.

Baca Juga: Polah Elon Musk Ini Berhasil Membuat China Mencak-Mencak, Satelit Luar Angksa SpaceX Berhasil Membuat China Ketar-Ketir, Sampai Meminta Hal Ini Pada Amerika

Bahkan perusahaan Amerika Serikat (AS) seperti Apple Inc. memanfaatkan efisiensi rantai pasokan China untuk menjaga biaya tetap rendah dan margin tinggi.

Foxconn Technology Group, produsen elektronik yang berbasis di Taiwan, memiliki banyak pemasok dan produsen komponen yang berada di lokasi terdekat.

Pasalnya, bagi banyak perusahaan sangat tidak efektif secara ekonomi untuk membawa beberapa komponen untuk dirakit hingga jadi produk akhir ke AS.

Selain itu, undang-undang perlindungan lingkungan secara rutin diabaikan, memungkinkan pabrik-pabrik China untuk mengurangi biaya pengelolaan limbah.

(*)

Artikel Terkait