Advertorial
Intisari-Online.com – Menjadi sebuah kerajaan besar yang mampu satukan Nusantara, Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit pada tahun 1293 Masehi, sekaligus menjadi raja pertama kerajaan itu.
Pada saat Raden Wijaya berkuasa, dia membentuk sebuah jabatan, yaitu Dharmaputra.
Yang menjadi anggota Dharmaputra adalah tujuh orang, yaitu, Ra Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, RA Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak, dan Ra Pangsa.
Sayangnya, para anggota Dharmaputra itu akhirnya tewas karena mereka melakukan pemberontakan.
Ra Tanca menjadi satu-satunya Dharmaputra yang masih hidup setelah pemberontakan Ra Kuti pada tahun 1319.
Ra Tanca sebagai salah satu dari tujuh pejabat Dharmaputra dengan profesi sebagai Tabib Istana.
Dia rupanya menyimpan dendam terhadap Jaya Negara yang sangat mendalam.
Dari Kitab Pararaton diketahui bahwa dendam Ra Tanca pada Jaya Negara muncul setelah istrinya diperlakukan tidak senonoh oleh sang Raja.
Dia pun menyimpan dendam atas kematian teman-teman seperjuangannya di Dharmaputra.
Ra Tanca menemui Gajah Mada pada tahun 1328, untuk menyampaikan keluhan istrinya.
Ra Tanca sangat kesal pada Jayanegara, karena dia menerima laporan dari istrinya bahwa raja berniat menikahi dua saudara tirinya.
Dua saudara tiri Jayanegara, yaitu Dyah Gitarja atau Tribhuwana Tunggadewi, dan Dyah Wiyat atau Sri Rajadewi.
Sayangnya, atas laporan Ra Tanca tersebut, sang patih Gajah Mada tidak langsung bertindak.
Karena merasa dia adalah abdi dalem yang setia pada mendiang Raden Wijaya, Ra Tanca pun mengambil tindakan sendiri saat mendapat kesempatan mengobati Jayanegara.
Menurut Kitab Negarakertagama, Jaya Negara merupakan raja kedua Majapahit, yang naik takhta pada 1309 M dengan Gelar Abiseka Wiralandaghopala, , yang naik takhta setelah mangkatnya sayang ayah, Dyah Wijaya.
Merupakan satu-satunya anak lelaki dari Dyah Wijaya, Jaya Negara beribukan Indradewi atau Dara Petak, seorang Putri Melayu dari Kerajaan Dharmasraya.
Di dalam Kitab Pararaton, Jaya Negara disebut dengan julukan ‘Kalagemet’ yang ditafsirkan sebagai olok-olok karena namanya itu berarti ‘lemah’ atau ‘jahat’.
Saat Jaya Negara menjadi raja di Kerajaan Majapahit, memang banyak rakyatnya yang tidak menyukainya.
Salah satu yang menjadi penyebabnya adalah karena dia bukanlah murni keturunan Majapahit, dia memiliki darah campuran Jawa dan Melayu.
Dan Bukan keturunan murni dari Kertanegara, yang merupakan raja terakhir Singasari sebelum berdirinya Kerajaan Majapahit, terlebih lagi dia lahir bukan dari permaisuri, melainkan dari selir.
Sebelum menikahi Dara Petak, Raden Wijaya telah memiliki empat istri yang semuanya adalah putri Kertanegara, seperti dikutip dari Buku Pararaton, karya Pitono Hardjowardoyo, dkk.
Rupanya Dara Petak berhasil membujuk Raden Wijaya untuk menjadikan putranya, Jayanegara, sebagai putra mahkota.
Meski terlahir dari seorang selir, Jayanegara sejak kecil diakui sebagai anak oleh Sri Prameswari Dyah Dewi Tribuaneswari (Permaisuri), sehingga kedudukan Jayanegara pun menjadi Putra Mahkota, apalagi permaisuri tidak memiliki anak laki-laki.
Selama Jayanegara memerintah tahun 1309-1328, terjadi beberapa kali pemberontakan karena hasutan Dyah Halyuda.
Di antaranya adalah pemberontakan Mahapatih Nambi, dan pemberontakan Ra Kuti, namun kesemuanya mampu dipadamkan oleh Jayanegara.
Dyah Halyuda sendiri akhirnya dibunuh oleh Jayanegara melalui tangan Gajah Mada.
Dari Kitab Pararaton, dikisahkan bahwa suatu ketika Jayanegara terkena sakit bisul, sehingga dia tidak bisa berjalan karena mengalami pembengkakan.
Ra Tanca dipanggil oleh Gajah Mada ke istana untuk mengobati penyakit raja.
Ra Tanca mempersiapkan alat operasi yang bisa saja digunakan untuk alat membunuh.
Ketika itu diberlakukan bahwa Ra Tanca tidak diperbolehkan membawa senjata ke dalam kamar raja.
Ra Tanca kemudian menusukkan pisau operasi tersebut (Taji) ke bagian tubuh Jayanegara yang membengkak, tetapi sang raja rupanya kebal terhadap senjata.
Dengan alasan untuk mengoperasi penyakit sang raja, Ra Tanca meminta agar raja melepaskan jimat kekebalan yang dimilikinya.
Jayanegara menuruti permintaan Ra Tanca, maka dengan mudahnya Ra Tanca menusukkan pisaunya sampai raja tewas.
Gajah Mada yang melihat kejadian tersebut, lalu menusuk Ra Tanca hingga tewas tersungkur.
Namun sejarawan Slamet Muljana menyimpulkan bahwa dalang pembunuhan Jayanegara sesungguhnya adalah Gajah Mada sendiri.
Dari Kitab Pararaton disebutkan bahwa saat itu Gajah Mada sedang menjabat sebagai patih Daha, dengan raja Dyah Wiyat.
Muncul dugaan bahwa Gajah Mada sengaja memancing amarah Ra Tanca dengan pura-pura tidak peduli sehingga Ra Tanca sendiri yang mengambil tindakan untuk menghabisi raja Jayanegara.
Setelah membunuh raja, Ra Tanca pun langsung dibunuh oleh Gajah Mada untuk menghilangkan jejak.
Maka, Gajah Mada berhasil menyelamatkan Dyah Wiyat dari nafsu buruk Jayanegara tanpa harus mengotori tangannya dengan darah raja itu.
Peneliti sejarah asal Belanda, N.J. Krom, dalam Hindoe-Javaansche Geschiedemis, yakin bahwa Gajah Mada adalah otak pembunuhan tersebut.
Slamet Muljana dalam Buku Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya (1979), mendukung versi bahwa Gajah Mada menyimpan dendam terhadap Jayanegara karena telah berbuat tidak senonoh pada istrinya.
Namun Muljana juga memaparkan versi lainnya, menurutnya, Gajah Mada pada hakikatnya tidak suka terhadap Jayanegara dan menggunakan Ra Tanca sebagai alat untuk mengakhiri nyawa raja yang memiliki tabiat buruk itu.
Kitab Pararaton juga mengungkapkan, Gajah Mada ternyata sudah bersiap di kamar raja tanpa diketahui Ra Tanca.
Maka sesaat setelah Jayanegara ditikam, Gajah Mada pun muncul dan segera membunuh Ra Tanca.
Menurut Muljana, meskipun berada di tempat kejadian perkara, namun nama Gajah Mada tetap bersih, bahkan disebut sebagai pahlawan.
“Demikianlah rahasia itu tertutup. Orang ramai hanya tahu Gajah Mada membalaskan kematian sang prabu dan menusuk Tanca sampai mati.”
Versi lain dari Earl Drake dalam buku Gayatri Rajapatni; Perempuan di Balik Kejayaan Majapahit (2012), menyimpulkan, bahwa pembunuhan Jayanegara merupakan konspirasi Gayatri bersama sang mahapatih Gajah Mada.
Gayatri merupakan ibu Tribhuwana Tunggadewi dan Sri Rajadewi, yang adalah salah satu istri Raden Wijaya, sebelum sang raja menikahi Dara Petak, ibu Jayanegara.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari