Intisari-Online.com -Semakin kejam, semakin menyiksa. Semakin kesulitan menuju ajal, semakin menggembirakan.
Begitulah nuansa eksekusi mati yang banyak dilakukan di awal abad 20 di Mongolia.
Termasuk metode immurement, yang seolah membiarkan si pesakitan "menikmati" proses menuju ajal.
Dalam metode ini, terpidana mati dimasukan ke ruangan kecil yang hanya cukup untuk tubuhnya.
Mereka kemudian ditutup--dan dilupakan begitu saja.
Ini membuat terpidana mati akan tewas perlahan.
Dehidrasi, kelaparan, dan kehabisan nafas jadi penyebab utamanya.
Konon, dalam sejarahnya, pernah ada seorang wanita di Mongolia yang disiksa memakai metode ini.
Hukuman ini dikenal sebagai Mongolian Death Coffins, yakni metode hukuman tipe peti mati Mongolia yang populer di tahun 1920-an.
Tahanan yang bersalah akan dikurung dalamkotak kayu berukuran kurang lebih 1m x 1.2m selama bertahun tahun.
Mereka diberi makan 2 sampai 3 minggu sekali melalui lubang kecil di peti tersebut.
Peti diletakkan di ruangbawah tanah “Prison of Urga” sebuah penjara yang dikelilingi oleh benteng kayu runcing.
Selain sempit dan pengap, tangan tahanan juga diikat.
Mereka bahkan tak dapat duduk atau berbaring dengan nyaman.
Saat musim dingin tiba, mereka biasanya dibiarkan mati kedinginan tanpa makanan untuk memangkas biaya.
Meski metode eksekusi mati ini sudah dihapuskan, tapi sejarah kekejamannya yang gila tak bisa begitu saja dilupakan.
Sisa-sisa kerangka yang kemungkinan besar adalah korban hukuman ini, dari waktu ke waktu, ditemukan di balik dinding dan di ruang tersembunyi di beberapa wilayah.
Inilah bukti dari kekejaman masa lalu, yang menunjukkan bahwa generasi terdahulu punya cara sedemikian primitif sekaligus menyakitkan untuk menghakimi sesamanya.
(*)