Intisari-Online.com - Suku Karen menjadi salah satu suku yang "diincar" wisatawan karena tradisi uniknya.
Para wanita Suku Karen diwajibkan memanjangkan leher menggunakan tumpukan kawat yang terbuat dari kuningan.
Namun, salah besar jika Anda berpikir Suku Karen adalah asli Thailand.
Karen pada awalnya tinggal di dataran tinggi Tibet.
Suku tersebut kemudian "hijrah" ke Myanmar, tepatnya di Karen State yang berbatasan langsung dengan Thailand.
Orang Karen tinggal di lima belas provinsi di Thailand.
Ini sebagian besar di sepanjang perbatasan antara Myanmar dan Thailand dari Chiang Rai, Chiang Mai, Mae Hong Son ke Tak, Kanchanaburi, dan lebih jauh ke selatan ke Kra.
Agama orang Karen
Suku Karen adalah kelompok minoritas terbesar di Thailand.
Para misionaris sangat aktif dan membujuk banyak orang Karen untuk menjadi Kristen.
Namun, banyak orang Karen juga masih mempraktikkan animisme.
Sebagian besar kehidupan suku Karen didikte oleh roh.
Roh yang paling penting adalah “Penguasa Tanah dan Air”, yang mengontrol produktivitas tanah dan menyerukan semangat padi untuk tumbuh.
Yang juga penting adalah roh pelindung leluhur matrilineal.
Pendeta desa adalah individu yang paling dihormati.
Dia adalah pemimpin ritual, dan dialah yang menetapkan tanggal untuk upacara tahunan.
Karena Karen telah menjadi warga negara Thailand, semakin banyak yang menjadi Buddhis.
Namun, beberapa orang Karen, khususnya Sgaw Karen, sangat responsif terhadap Injil dan sekarang menjadi Kristen.
Pakaian tradisional suku Karen
Orang-orang suku Karen mengenakan tunik tenun v-neck berbagai warna alam dan turban.
Wanita yang belum menikah mengenakan tunik v-neck putih panjang yang khas.
Mereka juga penenun yang terampil.
Di banyak desa Karen, Anda akan menemukan alat tenun di ruang bawah rumah panggung tradisional.
Memanjangkan Leher
Semakin panjang leher perempuan, semakin cantik pula mereka di mata laki-laki.
Inilah yang menjadi keyakinan perempuan di suku Karen.
Tumpukan cincin besar di leher perempuan jadi pemandangan yang tak asing di sini.
Bahkan, sejak kecil, para perempuan sudah diberi cincin kuningan agar lehernya bisa panjang sempurna.
Ekstremnya, semakin usia perempuan suku Karen bertambah, cincin di lehernya pun juga akan ditambah.
Mereka juga pantang melepas tumpukan cincin ini saat sedang beraktivitas sekalipun.
Cincin leher hanya akan dilepas saat mereka menikah, melahirkan, atau meninggal.
Saat dibersihkan, cincin boleh dilepas, tetapi tidak boleh terlalu sering dan harus segera dipakai kembali.
Melansir Kompas.com, tradisi yang oleh dunia dikenal dengan nama "neck rig" ini awalnya ditujukan untuk melindungi diri dari harimau.
Di masa lampau, beberapa perempuan suku Karen pernah dibunuh oleh harimau.
Jadi, pemimpin suku memutuskan meminta mereka memakai cincin leher kuningan demi melindunginya dari kepunahan.
Tradisi ini kemudian berkembang sedemikian rupa, hingga dipakai sebagai tolok ukur kecantikan perempuan suku Karen.
Namun, saat ini tak semua perempuan Karen diwajibkan memakai cincin leher.
Hanya anak perempuan yang lahir pada waktu tertentu yang ditakdirkan meneruskan tradisi ini.
(*)