Intisari-Online.com - Menurut Halili, untuk menghentikan ketegangan ini, pemerintah perlu melakukan usaha perlindungan dalam jangka pendek.
Salah satunya bisa dilakukan dengan memobilisasi kampanye mengenai Deklarasi Amman dan Deklarasi Bogor dan mengintensifkan dialog Sunni dan Syiah.
Dalam jangka menengah, kata Halili, pemerintah harus menginisiasi penulisan, pencetakan, dan penyebaran buku-buku pendidikan agama Islam dengan persepktif yang lebih akseptabel terhadap Syiah.
Perlu adanya penyadaran di lingkungan pendidikan menengah bahwa Sunni dan Syiah itu adalah dua mazhab resmi dan diakui dalam Islam.
Mencari titik temu
Paham Syiah dan Sunni sebenarnya bukan tidak bisa terjembatani. Mantan Presiden Abdurrahman Wahid menunjuk Pakistan dan Iran sebagai contohnya.
Keduanya adalah sama-sama negara Islam. Iran yang Syi'i menjadikan Islam sebagai pendobrak status quo.
Sedangkan Pakistan yang Suni menjadikan penunjangnya.
Menurut Abdurrahman Wahid, sebuah negara tidak dipengaruhi oleh Islam yang Syiah dan yang Sunni, tapi karena pandangan politiknya masing-masing.
Akhmad Ramdhon punya pandangan sama.
"Saya merasa (konflik seperti itu) lebih banyak ditentukan oleh dinamika politik masing-masing : yang menjadikan identitas sebagai komiditi," ujarnya, 1 Desember lalu.
Ninin setuju adanya lebih banyak ruang untuk dialog di kalangan pemeluk agama yang berbeda.
“Membuka dialog diperlukan bukan untuk kaum moderat saja melainkan kaum ekstrem,” ujarnya.
Dialog lintas adalah salah satu jalan untuk memecah prasangka.
"Bukan kelompok konservatif hari A melakukan audiensi kemudian besoknya kelompok perdamaian audiensi."
"Besoknya audiensi kelompok konservatif lagi (audensi). Itukan seperti tuntut-tuntutan," ujar Ninin.
Ninin menyebut pengalaman di Solo 2015 lalu saat perseteruan penganut Katolik dan Islam dalam kegiatan Kirab Salib dan Parade Tauhid.
“Setelah diadakan dialog lintas agama, kebencian di kedua belah pihak menjadi redam. Prasangka itu runtuh,” tambahnya.