Intisari - Online.com -Kerajaan Sriwijaya pertama kali disebut di tulisan-tulisan peziarah Buddha China I-ching, yang mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671 setelah perjalanan kurang dari 20 hari dari Canton.
Ia awalnya berada di tahap pertama di perjalanannya ke pusat perguruan besar dari Nalanda di timur laut India.
Penguasa dari Sriwijaya membantu I-ching dalam perjalanannya.
Survei arkeologi yang dilakukan sejak akhir abad ke-20 di barat kota Palembang telah membuktikan jika jumlah material sebanyak itu menjadi bukti jika Palembang adalah pusat Sriwijaya di abad ke-7 dan tiga abad berikutnya.
Sisa-sisa permukaan dari lebih dari ribuan pecahan keramik China, banyak yang didata dari abad ke-8 dan ke-19, telah ditemukan dari beberapa situs.
Pecahan dari abad ke-11 dan ke-14 ditemukan di tempat lain yang menunjukkan perubahan politik dan aktiivtas komersial di Palembang.
Sementara pecahan ditemukan di dekat Bukit Seguntang berasal dari semua abad-abad tersebut.
Sepotong peralatan rolet Romawi-India yang berasal dari abad awal-awal Masehi ditemukan di Palembang dekat sungai, dan barang yang sama telah ditemukan di Jawa, tepatnya di sekitar Jakarta.
Lebih lagi, patung-patung Buddha, Hindu dan lainnya dalam jumlah banyak telah ditemukan di wilayah Sungai Musi menunjukkan jika cekungan tersebut mengandung situs politik di dekat laut yang menerima beberapa kontak internasional.
Akhirnya, sisa stupa telah digali di kaki Bukit Seguntang.
Penemuan-penemuan ini memperkuat bukti buku teks jika Palembang memang pusat Kerajaan Sriwijaya.
Buddhisme di Palembang
Kepentingan Sriwijaya-Palembang baik sebagai pusat perdagangan dan pusat praktik Buddhisme di Asia Tenggara telah dibuktikan oleh sumber sejarah Arab dan China selama periode waktu yang lama.
Dalam catatan sejarahnya sendiri dalam bentuk prasasti di Malaya Tua (bahasa Melayu ditulis dalam naskah India), terbatas hampir seluruhnya pada paruh kedua abad ke-7.
Prasasti membuktikan jika penguasa dilayani oleh tingkatan pejabat dan ia memiliki kekayaan melimpah.
Periode ketika prasasti ditulis adalah periode yang menyakitkan.
Perang disebutkan, dan penguasa harus menghadapi perpecahan di ibukotanya.
Memang, tema utama dari prasasti tersebut adalah kutuan bagi yang melanggar janji kesetiaan lewat meminum air suci.
Hukuman untuk ketidaksetiaan adalah kematian, tapi mereka yang mematuhi penguasa mendapat kesejahteraan abadi.
I-ching merekomendasikan Palembang, dengan lebih dari seribu biksu, sebagai pusat sempurna untuk memulai belajar teks Buddha.
Prasasti abad ke-7, meski begitu, fokus kepada Buddhisme di luar konteks sekolah.
Prasasti itu menunjukkan pengaruh Vajrayna, atau Buddhisme Tantrik, mereka berhadapan dengan yantras, simbol dari bantuan kekuatan magis yang diberikan oleh penguasa sebagai hadiah kepada pelayan yang setia.
Prasasti Talang Tuwo tahun 684 yang mencatat doa raja yang berharap sebuah taman ia telah rawat bisa memberi berkah kepada semua makhluk hidup, menjadi indikasi utama kehadiran Buddhisme di dalam konteks kekuatan kerajaan.
Bahasa dan gaya prasasti, yang memasukkan konsepsi Tantrik India, memperjelas jika penguasa menunjukkan dirinya sebagai bodhisattva, seseorang yang telah menjadi buddha sendiri, mengajari beberapa tahapan menuju pencerahan sepenuhnya.
Ini merupakan contoh pertama dalam sejarah nusantara tentang asumsi penguasa tentang peran pemimpin agama.
Prasasti menunjukkan jika pengajaran sekolah Tantrik dari Buddhisme Mahayana dengan prosedur magisnya untuk mencapai akhir supranatural, telah mencapai Palembang sebelum akhir abad ke-7.
Buddhisme Tantrik datang ke India baru pada abad ke-7, dan sinkronisme kemunculannya di Palembang menunjukkan tidak hanya kontak kapal yang teratur antara Sumatra dan India, tapi lebih penting lagi, persepsi cepat Malaya terhadap Tantrisme sebagai sumber kekuatan spiritual seseorang.
Bahasa untuk "kutukan" dalam prasasti adalah bahasa Malaya, dan masuk akal untuk berpikir jika Malaya menggunakan teknik Tantrik ke dalam prosedur magis asli mereka.
Keunggulan yang ada di Bukit Seguntang yang suci, sebuah situs yang dikunjungi oleh orang-orang yang mencari kekuatan spiritual, kemungkinan juga berdampak pada vitalitas wilayah Malaya; kecil kemungkinan jika situs tersebut bisa menjadi pusat spiritual hanya karena hasil konsepsi Tantrik di abad ke-7.
Kemarahan dan kesulitan yang dibuktikan di prasasti itu, kemungkinan adalah upaya yang ingin diraih kerajaan penting, atau mungkin dipulihkan, yaitu hegemoni di selatan Sumatra, alih-alih rasa sakit yang tumbuh sebagai kerajaan yang unggul.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini