Intisari-Online.com -Raden Kian Santang merupakan putra dari Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja Raja Pakuan Pajajaran dengan Nyi Subang Larang.
Prabu Siliwangi merupakan raja Pakuan Pajajaran.
Kiansantang lahir tahun 1315 di Tatar Pasundan, wilayah pulau jawa.
Sebelum menuntut ilmu di Mekkah, namanya berubah menjadi Galantrang Setra.
Nama itu didapatnya ketika dia mencari seseorang yang dapat mengalahkan kekuatannya.
Raden Kiansantang merupakan sinatria yang terkenal, gagah dan perkasa.
Tidak ada yang bisa mengalahkan kekuatannya.
Sejak kecil sampai dewasa usia 33 tahun, belum ada yang bisa menandingi kekuatan dan kesaktiannya di pulau Jawa.
Dia sering merenung memikirkan, "Dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi kesaktian dirinya."
Akhirnya, Kiansantang memohon kepada ayahnya, Prabu Siliwangi, untuk dicarikan seorang lawan yang dapat menandinginya.
Sang ayah kemudian memanggil para ahli nujum untuk menunjukkan siapa dan dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi putranya.
Namun, tak seorang pun mampu menunjukkannya.
Seorang kakek tiba-tiba datang memberitahu bahwa ada orang yang dapat menandingi kegagahan Raden Kiansantang.
Orang itu adalah Sayyidina Ai yang tinggal jauh di Tanah Mekkah.
Sebenarnya, saat itu Sayyidina Ali telah wafat, namun kejadian ini dipertemukan secara ghaib dengan kehendak Allah Yang Maha Kuasa.
Kemudian, orang itu berkata kepada Raden Kiansantang, "Kalau memang Anda mau bertemu dengan Sayyidina Ali harus melaksanakan dua syarat: Pertama, harus mujasmedi dulu di ujung kulon. Kedua, nama harus diganti menjadi Galantrang Setra (Galantrang: berani, Setra: bersih, suci).
Setelah Raden Kiansantang melaksanakan dua syarat tersebut, dia pun berangkat ke tanah Suci Mekkah.
Setiba di tanah Mekkah, dia bertemu dengan seorang lelaki yang disebut Sayyidina Ali.
Tetapi, Kianstang tidak tahu bahwa laki-laki itu bernama Sayyidina Ali.
Raden Kiansantang pun bertanya pada laki-laki itu, "Kenalkah dengan orang yang namanya Sayyidina Ali?"
Laki-laki itu menjawab bahwa ia kenal dan malah bisa mengantarkannya ke tempat Sayyidina Ali.
Sebelum berangkat, laki-laki itu menancapkan dulu tongkatnya ke tanah, yang tak diketahui oleh Galantrang Setra.
Setelah berjalan beberapa puluh meter, Sayyidina Ali berkata, "Wahai Galantrang Setra, tongkatku ketinggalan di tempat tadi, coba tolong ambilkan dulu."
Awalnya, Galantrang Setra tidak mau, tetapi Sayyidina Ali mengatakan, "Kalau tidak mau ya tentu tidak akan bertemu dengan Sayyidina Ali."
Terpaksalah Galantrang Setra kembali untuk mengambil tongkat itu.
Setibanya di tempat tongkat tertancap, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sebelah tangan karena dikiranya tongkat itu akan mudah lepas.
Namun, tongkat itu tidak bisa dicabut, bahkan tidak sedikitpun berubah.
Sekali lagi dia berusaha mencabutnya, tapi tidak juga berhasil.
Ketiga kalinya, dia mencoba mencabut tongkat dengan sekuat tenaga disertai tenaga batin, namun bukannya tercabut, kedua kaki Galantrang malah amblas masuk ke dalam tanah dan darah keluar dari tubuhnya.
Ternyata laki-laki yang baru dikenalnya tadi bernama Sayyidina Ali.
Setelah Raden Kiansantang meninggalkan kota Mekkah untuk pulang ke Tanah Jawa (Pajajaran) dia terlunta-lunta tidak tahu arah tujuan.
Dia pun berpikir untuk kembali ke tanah Mekkah lagi.
Raden Kiansantang kemudian kembali ke Mekah dengan niatan akan menemui Sayyidina Ali dan bermaksud masuk agama Islam.
Raden Kiansantang masuk agama Islam, dia bermukim selama dua puluh hari sambil mempelajari ajaran agama Islam.
Dia kemudian pulang ke tanah Sunda (Pajajaran) untuk menengok ayahnya Prabu Siliwangi dan saudara-saudaranya.
Setibanya di Pajajaran dan bertemu dengan ayahnya, dia menceritakan pengalamannya selama bermukim di tanah Mekkah serta pertemuannya dengan Sayyidina Ali.
Pada akhir ceritanya dia memberitahukan dia telah masuk Islam dan berniat mengajak ayahnya untuk masuk agama Islam.