Intisari-online.com - Perang Dunia merupakan peristiwa besar yang pernah terjadi lebih dari 50 tahun lalu melibatkan negara-negara terkuat di dunia.
Namun, di masa damai ini tampaknya perang dunia belum bakal terjadi, karena masing-masing negara dipaksa menahan diri dari segala bentuk provokasi yang mengarah ke perang.
Meski demikian, tampaknya kekuatan besar China yang makin tumbuh bisa disebut sebagai ancaman yang membahayakan dunia.
Menurut The Sun, menunjukkan titik panas global adalah cara untuk meredam risiko Perang Dunia ini.
Menurut komentar dari analis politik dan militer yang diwawancarai oleh The Sun, jika Perang Dunia III benar-benar pecah, mungkin dari sini awalnya.
Perang Dunia III mungkin akan dimulai dengan reunifikasi China atas Taiwan secara paksa, sengketa perbatasan.
Perang nuklir China-India, AS-Korea, konflik antara Turki-Suriah atau perang antara Iran-Israel.
Namun, risiko tertinggi menyebabkan perang dunia saat ini masih konflik militer antara AS dan Cina di pulau Taiwan.
Perang antara dua kekuatan besar kemungkinan akan menyebabkan perang global, menurut The Sun.
Pada 10 September, Presiden China Xi Jinping mengatakan bahwa kerja sama AS-China akan membawa manfaat bagi seluruh dunia.
Sebaliknya, perang antara kedua negara akan membahayakan seluruh planet.
Komentar Xi datang di tengah meningkatnya ketegangan antara Beijing dan Taiwan.
Sementara China selalu menganggap pulau itu sebagai bagian integral dan siap menggunakan kekuatan untuk bersatu jika perlu, AS berkomitmen untuk membela Taiwan.
Dalam dua minggu terakhir, China telah mengirim jet tempur ke Taiwan dalam jumlah rekor.
Banyak yang berpendapat bahwa aksi tersebut merupakan bagian dari latihan militer skala besar yang akan membantu China mendarat di Taiwan di masa depan.
Jika China menggunakan kekuatan untuk memaksa Taiwan bersatu kembali, Amerika Serikat akan menghadapi pilihan yang sangat sulit dan berisiko.
Gagal melindungi Taiwan, Amerika Serikat akan kehilangan posisi kepemimpinan globalnya. Namun, jika memasuki perang di Taiwan, konsekuensinya bagi AS tidak akan terhitung.
Pada 8 Oktober, banyak surat kabar AS melaporkan bahwa Washington diam-diam mengirim pasukan militer untuk beroperasi di Taiwan selama hampir satu tahun.
Berita ini menyebabkan reaksi di Cina, dengan Global Times bahkan menyebut tindakan AS sebagai "invasi".
"Amerika bermain dengan api dan menghasut perang. Tindakan mereka dapat memiliki konsekuensi yang tak terbayangkan bagi Taiwan," katanya.
"Kita perlu membuat Washington mengerti bahwa mereka mempertaruhkan nyawa tentara muda," imbuhnya.
Namun, dalam pidato terakhirnya pada 9 Oktober, Presiden Xi Jinping menegaskan bahwa ia akan menyatukan kembali Taiwan secara damai.
Berbicara di Aula Besar Rakyat (Beijing), Xi menyatakan bahwa China "memiliki tradisi mengalahkan semua kekuatan separatis".
"Separatisme Taiwan adalah hambatan terbesar untuk penyatuan. Reunifikasi damai adalah hal yang paling sesuai dengan kepentingan China dan Taiwan," kata Xi.
"Tidak ada yang bisa meremehkan tekad dan keberanian China untuk mempertahankan wilayahnya," jelas Xi.
"Kita harus memenuhi tugas bersejarah untuk sepenuhnya menyatukan negara. Kami pasti akan menyelesaikannya," tambah Xi.
Dalam hal kekuatan, tentara China jauh lebih besar dari Taiwan. Namun, jika mendarat di pulau itu, China harus menghadapi 500.000 tentara gerilya Taiwan.
Untuk menyatukan kembali Taiwan dengan paksa, China harus mengirim pasukan dalam jumlah besar, ditambah banyak kapal pasokan besar.
Ini bisa menjadi pendaratan skala terbesar dalam sejarah manusia.
Dengan garis pantai yang terjal, banyak tebing curam, hanya 13 titik yang bisa menjadi lokasi yang cocok untuk mendarat di Taiwan. Namun, semua posisi ini telah diubah menjadi "tempat pembuangan api" oleh Taiwan, menurut surat kabar Inggris.
“Xi harus mempertimbangkan dengan hati-hati jika dia ingin menyatukan Taiwan dengan paksa. Jalannya perang bisa terjadi dengan cepat di luar kendali China," kata Ian Easton, penulis The China Threat.