Pantas Australia Langsung Batalkan Perjanjian dengan Prancis Setelah Bentuk Aukus, Rupanya Tindakan yang Dilakukan Prancis Bertahun-tahun Silam Ini Bikin Negara Mana pun Ogah Bekerjasama

Tatik Ariyani

Penulis

(ilustrasi) Kapal selam bertenagan nuklir.
(ilustrasi) Kapal selam bertenagan nuklir.

Intisari-Online.com -Pada pekan lalu, Australia bersama AS dan Inggris mengumumkan pakta kerja sama yang diberi nama Aukus yang memungkinkan Canberra mendapatkan akses teknologi dan bantuan untuk membangun delapan kapal selam bertenaga nuklir.

Kerja sama trilateral tersebut membuat Australia memutuskan membatalkan kontrak pembelian kapal selam dengan Prancis.

Berdasarkan kontrak pada tahun 2016 bernilai 37 miliar dollar AS (Rp 527,6 triliun), perusahaan Prancis Naval Group (sebelumnya bernama DCNS) akan membangun 12 kapal selam diesel-elektrik Barracuda.

Prancis pada Jumat (17/9/2021) mengatakan, pihaknya tidak dapat mempercayai Australia dalam pembicaraan dagang yang sedang berlangsung, akibat batalnya kontrak kerja sama kapal selam.

Baca Juga: Pantesan China dan Rusia Ketakutan dengan Aliansi Aukus, Terkuak Amerika, Inggris, dan Australia Manfaatkan Situasi di Wilayah Konflik Ini Untuk Membuat China Ketar-ketir

Prancis, yang menyebut keputusan Australia sebagai "tikaman dari belakang", tampak mengeluarkan ancaman yang dapat mempengaruhi pembicaraan perdagangan luas.

Sementara itu, Perdana Menteri (PM) Australia Scott Morrison mengaku tak menyesali keputusannya membatalkan perjanjian kapal selam dengan Prancis dan menegaskan bahwa hal itu dilakukannya demi kepentingan Australia.

Morrison mengatakan ia memiliki kekhawatiran yang dalam bahwa kapal selam Prancis tak cukup untuk melindungi kepentingan kedaulatan negaranya.

“Sebenarnya ini masalahnya. Mengenai melindungi kepentingan kedaulatan Australia,” katanya, Minggu (19/8/2021) dikutip Kompas TV dari SBS.

Baca Juga: Jika Amerika Bentuk AUKUS Untuk Bersekutu dengan Inggris dan Australia, Ternyata 3 Negara Kuat Pemegang Nuklir Ini Diprediksi Pilih Bergabung dengan China

“Tentu saja, ini merupakan kekecewaan besar untuk Pemerintah Prancis, dan semua yang bekerja untuk proyek ini, jadi saya bisa mengerti kekecewaan mereka,” kata Morrison.

Mungkinkah pembatalan perjanjian dan kekhawatiran Morrison ini ada kaitannya dengan kebocoran data rahasia yang terjadi pada tahun sebelum kesepakatan Prancis dan Australia ditandatangani berikut?

Melansir The Eurasian Times, Senin (20/9/2021), kebetulan sebelum kesepakatan Australia-Prancis ditandatangani, media Australia ( The Australian) membocorkan rencana rinci, sepanjang 22.400 halaman, dari kemampuan tempur rahasia enam kapal selam kelas Scorpene yang dirancang DCNS untuk Angkatan Laut India.

Menurut The Australian, data tersebut dilaporkan diambil dari Prancis pada tahun 2011 oleh seorang mantan perwira Angkatan Laut Prancis, dan kemudian diteruskan ke sebuah perusahaan di Asia Tenggara; tetapi tidak jelas seberapa luas data yang bocor itu telah dibagikan.

Kementerian Pertahanan (MoD) India, di sisi lain, memastikan bahwa tempat asal kebocoran bukanlah India.

Namun, DCNS di Paris menyarankan sebaliknya dengan meyakinkan pihak berwenang Australia bahwa kebocoran semacam ini tidak dapat terjadi pada proyek kapal selam Australia karena ada kontrol yang lebih ketat pada proyek Australia dibandingkan dengan proyek India.

DCNS berpendapat bahwa sejauh menyangkut proyek Australia, perusahaan bertanggung jawab untuk menjaga informasi sensitif baik di Prancis maupun di Australia, sedangkan di India hanya "penyedia dan bukan pengontrol data teknis".

Bahwa DCNS kemudian mengubah desain khusus India untuk kapal selam kelas Scorpene adalah cerita yang berbeda, tetapi kontroversi sebelum penandatanganan kesepakatan di Canberra menimbulkan kecurigaan tentang kemampuan Prancis untuk menyimpan rahasia dalam pembuatan senjata.

Baca Juga: Bikin Segerombolan Armada AS Terkejut, Kapal Selam China Berani-beraninya Muncul di Tengah-tengah Kelompok Kapal Induk AS

Kritikus Australia tidak yakin bahwa kebocoran itu tidak berasal dari Prancis pada 2011, karena data yang bocor itu juga berisi rincian proyek DCNS yang tidak terkait dengan India.

Kedua, kebocoran tersebut mengungkapkan persaingan yang ketat di antara produsen senjata negara-negara Barat.

Seperti yang telah ditunjukkan, DCNS memiliki persaingan yang kuat dengan Jerman dan Jepang.

Dan ini juga merupakan saat ketika kampanye sistematis dimulai di India melawan keputusan pemerintah Modi untuk membeli pesawat tempur Rafale Prancis, yang telah memenangkan perlombaan dekat dengan Eurofighter Typhoon, Mig 35 (Rusia), F/A 18 Super Hornet (AS), Saab Gripen (Swedia) dan F-16 E/F (AS).

Intinya, dengan demikian, adalah bahwa kesepakatan Barracuda Prancis-Australia ditandatangani di tengah kontroversi, dan kontroversi ini semakin berkembang setiap tahun sejak saat itu, baik di bagian harga maupun pengiriman terjadwal.

Kedua, sementara kapal selam pertama awalnya dimaksudkan untuk memasuki layanan pada “awal 2030-an”, dalam waktu dua tahun (pada 2018), kapal selam itu dijadwal ulang, yang membuat banyak hambatan Australia, menjadi 2035.

Dan tahun ini, ada laporan bahwa Barracuda terakhir dapat memasuki layanan pada tahun 2050 saja.

Tenggat waktu yang tertunda meningkatkan kekhawatiran Canberra tentang relevansi kapal baru dalam menghadapi pertumbuhan berkelanjutan angkatan laut China, khususnya pengembangan kapal bawah laut tak berawak Beijing.

Baca Juga: Pamer Pesawat Siluman Canggih Ini, Amerika Langsung Dibikin Malu Oleh China, Negeri Panda Blak-Blakan Bongkar Kelemahan Pesawat Tersebut Tak Sesangar Bentuknya

Ketiga, ada perselisihan tentang keterlibatan industri lokal dalam pembangunan kapal selam Prancis.

Ketika kesepakatan ditandatangani pada 2016, dikatakan bahwa Barracuda akan dibangun di Australia, dengan 90 persen input lokal, menopang 2.800 pekerjaan lokal.

Pada tahun 2020, Naval Group dilaporkan telah merevisi angka input lokal 90 persen menjadi 60 persen.

Tahun ini, diduga bahwa Prancis ingin angka ini turun lebih jauh dengan alasan bahwa "industri Australia tidak siap."

Sekarang kesepakatan itu hampir mati, Prancis mengancam akan menempuh jalur hukum, yang akan merugikan pihak Australia, jika berhasil.

Tetapi Australia mengatakan bahwa mereka memiliki pembelaan hukum di salah satu klausul kesepakatan yang mengatakan bahwa Canberra atau perusahaan Prancis dapat menghentikannya secara sepihak “di mana kemampuan suatu Pihak untuk mengimplementasikan Perjanjian 'secara fundamental dipengaruhi oleh peristiwa, keadaan atau penting'.”

Artikel Terkait