Oleh Iman Sulaeman
Intisari Online.com -Sejujurnya saya tidak pernah menyangka bisa melakukan perjalanan sejauh hampir 1.300 km seorang diri, jika melihat pengalaman gowes saya yang minim.Benar-benar minim, karena kesibukan kerja.
Saya adalah goweser akhir pekan atau hanya melakukan aktivitas bersepeda pada hari Sabtu atau Minggu, dan itupun hanya menempuh jarak antara 50 km - 100 km, tidak pernah lebih.
Sementara itu diantara teman-teman komunitas gowes, saya dikenal sebagai pegowes lamban, karena kecepatan saya tak pernah lebih dari 30 km per jam.
Ha ha ha...
Makanya tak heran rencana perjalanan saya menempuh jarak hampir 1.300 km antara Jakarta menuju Denpasar, Bali dengan melalui 100% jalur pantai utara Pulau Jawa banyak diragukan orang, termasuk keluarga sendiri.
Om saya yang tinggal di Bandung, Jawa Barat bahkan meminta saya untuk mengurungkan niat, sambil berkata, "Kamu mungkin kuat mentalnya. Kamu anak MAPALA UI, suka berpetualang, tapi perhatikan fisik juga. Kamu sudah tidak muda lagi!"
Dia menegaskan perjalanan yang akan saya lakukan membutuhkan kekuatan fisik prima, yang menurutnya tidak ada pada saya, yang kini sudah menginjak usia 50 tahun.
Saya benar-benar memperhatikan kekhawatirannya, namun tak sedikit pun terpikirkan untuk mengurungkan niat.
Bahkan dari hari ke hari persiapan yang saya lakukan semakin matang dengan sepeda Polygon Heist X7 yang saya beli sejak setahun lalu di Rodalink Margonda, Depok dengan terus memodifikasi tingkat kenyamanannya.
Mengganti stang flatnya dengan Jones dan membalutnya dengan bartape Brooks, agar terasa nyaman saat dipegang.
Mengapa stang Jones pilihan saya? Karena dengan stang ini saya mempunyai 4 alternatif dalam mengendarai sepeda, jadi tak monoton dan membosankan. Sehingga saya tetap bisa terus mengayuh walau sudah merasa "bosan" diatas sadel.
Peninggi stang pun saya pasangkan, agar posisi gowes tidak terlalu membungkuk mengingat perjalanan yang saya lakukan tergolong jauh.
Sementara medan gowes pantai utara Pulau Jawa yang bervariasi benar-benar saya pelajari. Mulai jalan mulus sekali, off road ringan, tanjakan yang meliuk hingga turunan yang tajam. Kehadiran truk-truk besar Pantura yang kerap "kentut" lalu mengeluarkan asap hitam yang pekat dari knalpotnya, benar-benar harus saya jadikan "teman" perjalanan.
Rak pun saya pasangkan di belakang dan depan sepeda untuk membawa beban dengan berat keseluruhan berkisar 25 kg.
Saya pun semakin yakin dengan perjalanan ini ketika Rodalink menjanjikan dukungan servicenya sepanjang perjalanan dan Rumat, spesialis luka diabetes, yang bersedia memberikan bantuan pendanaan. Alhamdulilah!
Sementara itu, teman-teman saya mulai mengirimkan barang-barang yang saya butuhkan, mulai dari kaos gowes yang cepat kering dan ringan hingga kopi arabika kesukaan saya, dan tentu saja bantuan dana yang mereka sebut sebagai "uang jajan."
Saya benar-benar tak menyangka begitu banyaknya dukungan yang diberikan teman-teman, hingga akhirnya mereka berkumpul di bawah Tugu Pancoran pada 17 Agustus 2021, pada pukul 07.00 Wib, untuk melepas perjalanan saya yang didahului video call dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Sandiaga Uno.
Rute wisata, rute menantang, dan rute penuh doa-doa
Rute pertama yang harus saya jalani adalah Jakarta - Pamanukan, Subang dimana saya masih menyesuaikan diri dengan panasnya udara di wilayah pantai utara Pulau Jawa, dengan kehadiran truk-truk besar yang hanya berjarak beberapa meter dari sepeda. Hingga akhirnya tiba di etape Pamanukan, Subang - Cirebon, ketika saya sudah mulai terbiasa dengan itu semua.
Perjalanan semakin seru, ketika sambutan hangat datang dari komunitas Federal Jatibarang dan Cirebon, serta teriakan semangat yang diberikan para pengendara terhadap perjalanan saya. "Semangat mas, pasti bisa!"
Di hari berikutnya, saya harus menjajal rute Tegal - Pekalongan - Batang - Kendal yang berjarak 135 km.
Etape ini benar-benar menguras tenaga, sehingga saya harus memutuskan untuk membatalkan tujuan akhir yaitu Kota Semarang. Menanjak di wilayah Batang bersama truk-truk besar, benar-benar membuat stamina "melorot" drastis di tengah sorotan mataharinya yang benar-benar menyengat. Ditambah jalanan yang berdebu, karena jalur Pantura belum diguyur hujan sejauh ini.
Belum lagi asap knalpot hitam tebal dari truk-truk besar itu, ketika mereka berusaha untuk menanjak dengan beban muatan berat yang dibawanya.
Kelelahan yang luar biasa di wilayah Batang, bahkan sempat membuat kelingking jari kaki kiri kram dan melipat kebawah beberapa saat. Ha ha ha, seru!
Saat memasuki Kota Kendal, setelah "berjuang" di wilayah Batang, adzan Isya terdengar. Saya pun buru-buru mencari penginapan, langsung masuk kamar, sholat dan tidur.
Esok harinya, saya hanya menargetkan Kota Semarang yang hanya berjarak 35 km saja dari Kota Kendal, agar bisa melanjutkan beristirahat di kota itu sambil sedikit berwisata kuliner.
Memasuki hari keenam, rute yang harus saya lalui adalah Semarang - Demak - Kudus - Pati - Rembang yang berjarak 120 km.
Di rute ini saya benar-benar menikmati perjalanan di pagi hari, yang masih jarang beroperasinya truk-truk besar.
Mampir ke Mesjid Demak lalu membuat video, berfoto di Menara Mesjid Kudus, dan membuat vlog di tambak garam Kaliori yang berlokasi beberapa kilometer menjelang Kota Rembang.
Di rute ini saya benar-benar "relax" apalagi berjumpa dengan banyak orang.
Hingga akhirnya bertemu seorang teman Mapala UI di Kota Kudus, yang selanjutnya mengawal perjalanan saya hingga tiba di Kota Rembang dan bermalam.
Hari pun berganti, saya harus menjalani rute yang menurut saya asyik, yaitu Rembang - Lasem - Tuban yang berjarak 100 km, dan kota tua Lasem adalah fokus utama perjalanan saya hari ini!
Sebagai orang yang menyukai dunia Arkeologi, saya benar-benar memperhatikan detil bangunan-bangunan tua yang masih tersisa di Lasem, "Sebuah kota besar pada masa lalu yang benar-benar telah ditinggalkan!"
Saya benar-benar ingin berlama-lama wilayah Lasem, sehingga sempat terpikir untuk menunda perjalanan ke Kota Tuban.
Ha ha ha!
Di wilayah Lasem kita akan melihat bangunan-bangunan tua, berarsitektur China, yang banyak bagian temboknya sudah mengelupas, dengan bata-batanya yang termakan usia.
Inilah sisa-sisa masa lalu Lasem yang luar biasa, yang mengisahkan tentang kemunduran sebuah kota besar di masa lalu, yang kini hanya menjadi sebuah kecamatan kecil di pantai utara Pulau Jawa.
Lasem memiliki cerita panjang tentang sebuah kota besar, bahkan bisa disebut sangat tua, jauh lebih tua dibandingkan ketika jung yang dinakhodai Bi Nang Un mendarat di Pantai Regol, Kadipaten Lasem, tahun 1413 M, yang ditulis dalam Serat Badra Santi, oleh Mpu Santi Badra tahun 1479 dan diterjemahkan dalam bahasa Jawa oleh Kamzah R Panji.
Disebutkan disitu, bahwa pada tahun 1273 Saka atau 1351 Masehi, Lasem telah menjadi tanah perdikan Majapahit.
Di Lasem juga, kita akan melihat dengan jelas sebuah kehidupan yang penuh toleransi melalui peninggalan bangunan-bangunan tuanya, berikut sisa-sisa kejayaan kota ini.
Setelah menikmati Kota Lasem sepintas, kurang lebih satu jam lamanya dan tentu saja masih terasa kurang, saya kemudian menuju makam Puteri Cempo. Tak lama disitu, sepeda pun saya pacu menuju Kota Tuban.
Jelang berakhirnya perjalanan di wilayah Rembang, Jawa Tengah dan akan memasuki wilayah Tuban, Jawa Timur, saya disambut Febri, seorang goweser Rembang yang mengajak saya mampir ke rumah Bang Mandor Mustapa, seorang rekannya.
Di rumah Bang Mandor Mustapa yang memiliki usaha Rumah Makan Kuning yang merupakan khas Pantura, saya disajikan makan siang yang enak yaitu kuah ikan kuning yang membuat nafsu makan membuncah! Lezat!
Kedua rekan yang baru saya kenal ini memang luar biasa hangat, kami seperti sudah mengenal lama, berbincang dan bercanda sambil makan siang, hingga waktunya saya berpamitan untuk melanjutkan perjalanan ke Kota Tuban dan bermalam.
Keesokan paginya, ketika saya akan melanjutkan perjalanan dengan rute Tuban - Sidayu - Gresik - Surabaya, seorang ibu tua penjual sayur keliling di Kota Tuban sempat mengikuti beberapa saat dengan motor bebek tuanya.
Awalnya saya benar-benar tidak tahu apa yang dilakukannya dengan terus membuntuti sepeda saya, sampai akhirnya ibu tua itu berteriak, "Nak... Ibu sudah doakan ya tadi. Semoga sampai tujuan dengan selamat!"
Saya pun buru-buru menoleh untuk mengucapkan terimakasih kepadanya, namun sang ibu tua itu begitu cepat berlalu.
Pada kejadian lain, masih di rute yang sama, seorang penambal ban di daerah Sidayu atau beberapa kilometer sebelum Kota Gresik, menolak uang yang saya berikan atas jasanya menambah angin di di sepeda saya.
"Cuma bisa bantu kasih angin ya. Semoga selamat sampai tujuan,"ujarnya ramah. Kepadanya, saya cuma bisa mengucapkan terimakasih, semoga segala kebaikannya mendapat balasNya. Aamiin.
Sepeda pun saya kayuh lebih cepat dan jelang memasuki Kota Gresik dan Kota Surabaya, saya merasakan udara Pantura yang semakin panas dan tenggorokan yang terbakar.
Dan benar saja, setibanya di penginapan di Kota Surabaya, saya mengalami demam, hingga harus meminta tolong teman dari komunitas @031_brompton yaitu @reza_zulfadin untuk mengirim obat ke penginapan, karena sudah tak kuat lagi berjalan akibat suhu badan yang terus meningkat. Dan ternyata yang datang bukan hanya obat, tapi juga makan malam yang enak dan lezat.
Setelah menyantap makanan yang dikirimkan dan minum obat yang diberikan, pagi harinya saya sudah merasakan tubuh yang mulai pulih, walau masih agak lemas.
Setelah mandi, saya pun memaksakan diri untuk gowes ke @rodalinkid.rungkut Surabaya guna service sepeda.
Sebenarnya tidak ada masalah dengan sepeda Polygon Heist X7 yang saya gunakan, namun saya tetap meminta teknisi Rodalink Surabaya yang ramah dan profesional untuk mengechecknya.
Inilah salah satu kiat saya dalam melakukan perjalanan seorang diri, yaitu memastikan sepeda selalu dalam kondisi prima agar bisa terus "melibas" rute-rute yang dilalaui.
Setelah pengechekan sepeda tuntas, saya pun kembali ke penginapan untuk beristirahat total! Tidur seharian, tapi tak lupa sholat ya.
Keesokan paginya, ketika saya sudah benar-benar pulih 100% ternyata teman-teman @031_brompton sudah menunggu di lobbi hotel untuk mengawal perjalanan saya ke Sidoarjo, untuk bertemu dengan teman-teman lainnya disana, lalu saya pun melanjutkan perjalanan ke Probolinggo.
Dua hari yang tak terlupakan di Kota Surabaya bersama teman-teman @031_Brompton dan perjalanan menuju kota Probolinggo pun berjalan mulus.
Memasuki hari kesebelas atau tepatnya rute Probolinggo - Situbondo, jalan yang saya lalui meliuk dan menanjak di area PLTU Paiton. Disini saya benar-benar mengagumi proyek vital ini, yang telah membuat pulau Jawa dan Bali terang benderang.
Selanjutnya mata kita akan disajikan pemandangan pantai yang indah hingga saya tiba di monumen Anyer - Panarukan 1.000 km dan "mengabadikan" sepeda saya disini.
Ha ha ha.... Cuma sepeda ya, karena tak ada orang lain di monumen ini yang bisa saya mintai tolong, sementara saya tak bawa tripod. Ha ha ha!
Setelah beristirahat sebentar di Monumen Anyer - Panarukan 1.000 km, saya pun bergegas menuju Kota Situbondo, sampai akhirnya seorang pemotor menghampiri saya, dan meminta saya beristirahat persis di depan Polres Situbondo. Dan ternyata dia adalah Kasat Narkoba Polres Situbondo AKP Sugiarto, yang merupakan goweser Situbondo.
Di rumah makan yang letaknya persis di depan Polres Situbondo, saya ditraktir makan dan diantarkan ke penginapan yang lokasinya tak jauh dari Polres Situbondo.
Terimakasih banyak kepada Bapak AKP Sugiarto, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan. Aamiin.
Setelah bermalam di Situbondo, perjalanan saya berlanjut menuju Ketapang, Banyuwangi, dengan melintasi tanjakan di jalan sekitar Taman Nasional Baluran dan lokasi pelatihan marinir, dalam kondisi cuaca yang benar-benar cerah.
Menjelang Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, saya terus memacu sepeda hingga akhirnya tiba di pelabuhan ini pada pukul 16.00 Wib, tak ingin buru-buru menyeberang ke Pulau Bali melainkan ingin menikmati dulu bermalam di Ketapang, Banyuwangi.
Keseruan di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi dan proses ke Pulau Bali saat PPKM Jawa-Bali
Pada hari ke-13 perjalanan, atau tepatnya 29/8/2021, rencananya saya akan menyeberang pagi hari ke Pelabuhan Gilimanuk, Bali dari Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi.
Dalam bayangan awal saya, gowes pagi hari di Pulau Bali, dengan rute Gilimanuk menuju Kota Denpasar, Bali pasti asyik!
Saya pun buru-buru membeli tiket Ferry seharga Rp 20.000 dari agen perjalanan dan melakukan test antigen di Klinik Anugerah di Ketapang, Banyuwangi dengan hasil Negatif Covid-19, yang berbiaya Rp 80.000.-
Namun ketika saya perlihatkan tiket Ferry dan surat Negatif Covid-19 dari klinik setempat kepada petugas di Pelabuhan Ketapang, petugas itu justru meminta saya untuk menuju Terminal Sritanjung yang berjarak 2 km dari Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, untuk proses validasi surat Negatif Covid-19 yang saya pegang.
Kok?
"Begitu pak prosedurnya. Dulu proses validasi surat keterangan Negatif Covid-19 ada di area Pelabuhan Ketapang. Tapi sekarang dipindahkan ke Terminal Sritanjung atau 2 km dari sini," jelasnya ramah.
Saya pun bergegas mengarahkan sepeda menuju Terminal Sritanjung, yang sudah dipenuhi banyak calon penumpang Ferry yang akan memvalidasi surat Negatif Covid-19, yang mereka pegang.
Berjejalnya para calon penumpang yang akan memvalidasi surat Negatif Covid-19 ini, diakibatkan hanya tersedia 2 loket yang melayani proses validasi.
Keributan pun akhirnya sedikit terjadi, karena para supir angkutan barang yang akan menuju ke Pulau Bali susah sekali untuk tertib mengantri.
Mereka selalu "menyelak" antrian calon penumpang yang sudah tertib mengantri, yang membuat seorang pria di depan saya geram, lalu "membentak" para petugas validasi agar melayani sesuai antrian.
"Harusnya mbak melayani antrian, bukan yang menyelak," ujarnya meninggi dengan wajah geram
Saya mencoba ikut menegur para "penyelak" antrian, tapi hanya dianggap angin lalu!
"Ayo bapak-bapak tertib mengantri," ujar saya.
Tetapi mereka justru menjawab, "Kalau supir angkutan barang tak mengantri. Langsung diproses."
Saya cuma tertawa saja. Ha ha ha!
Saya benar-benar tidak ingin "meladeni" para supir itu lebih lanjut, sampai akhirnya petugas validasi di Terminal Sritanjung meminta para supir tertib mengantri!
Ha ha ha, seru!
Setelah mengantri hampir satu jam lamanya, akhirnya tiba giliran saya untuk dilayani oleh petugas validasi.
Pertama saya harus memperlihatkan sertifikat vaksinasi Covid-19 yang terdapat di Peduli Lindungi.
Lalu petugas memeriksa dengan teliti surat Negatif Covid-19 yang dikeluarkan Klinik Anugerah di Ketapang, Banyuwangi dengan men-scan barcode yang terdapat di surat itu dan mencocokan dengan data-data yang terdapat di KTP saya.
Proses validasi itu hanya berlangsung sekitar 5 menit saja!
Setelah proses validasi selesai saya pun kembali menggowes ke Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi.
Selanjutnya memperlihatkan tiket Ferry dan surat Negatif Covid-19 yang sudah tervalidasi kepada petugas, lalu masuk ke kapal sambil menuntut sepeda, dan Bali, i am coming!
Gowes di Bali yang asyik, tapi dikejar anjing
Waktu menunjukan pukul 13.00 Wita, ketika kapal Ferry yang saya tumpangi merapat di Pelabuhan Gilimanuk, Bali.
Tanpa berlama-lama, saya pun memacu sepeda menuju Denpasar, Bali yang berjarak 130 km dari Pelabuhan Gilimanuk, dengan melewati kawasan hutan di Bali Barat yang teduh, dengan rute jalan yang naik turun.
Sampai akhirnya saya tiba di sebuah jalan yang menanjak antara Negara - Pekutatan, dengan gonggongan anjing yang membuat saya agak ciut.
Sumpah saya takut anjing!
Anjing itu terus mengikuti, yang memaksa saya mengayuh lebih cepat di tanjakan dan stamina pun "longsor" seketika.
Memasuki wilyah Pekutatan, tanpa pikir panjang, saya langsung mencari penginapan dan mendapati Madewi Bay Retreat.
Dan lagi-lagi, jelang memasuki Madewi Bay Retreat yang jalannya menanjak, saya kembali "disambut" dua anjing yang lebih besar, dibandingkan yang mengejar tadi, dengan gonggongannya yang jauh lebih riuh.
Dua anjing ini seperti ingin mengejar lagi, dan saya pun buru-buru turun dari sepeda dan meminta tolong seorang petugas hotel.
"Mas tolong... Saya diikuti 2 anjing," ujar saya.
Dan hari ini pun saya harus mengakhiri aktivitas gowes untuk menginap di wilayah Pekutatan, yang hanya berjarak 70 km dari Pelabuhan Gikimanuk. Tapi kok rasanya seperti 1.000 km ??? Ah...Mungkin kejaran para anjing itu yang membuat saya benar-benar lelah!
Keesokan harinya, saat saya berencana menempuh rute Pekutatan - Denpasar, Bali, seorang teman di Jakarta menghubungi saya, agar mau mampir ke Desa Tengguntiti, Tabanan, guna melihat Gerobak Baca Maharani.
Dia berharap saya bisa membantu memperbanyak koleksi buku-bukunya, agar anak-anak di desa itu semakin gemar membaca. Sepeda pun kembali saya pacu!
Sesampainya di Desa Tangguntiti, Tabanan yang berjarak hanya 45 km dari Madewi Bay Retreat di Pekutatan, saya segera mengubungi teman-teman di Jakarta agar bisa menyumbangkan buku-buku bagi anak-anak di Tabanan. Beberapa langsung sigap menyambut ajakan saya.
Rencananya buku-buku bacaan anak hasil sumbangan teman-teman itu, akan saya kumpulkan dulu di rumah Depok, Jawa Barat, dan nantinya akan saya bawa langsung ke Tabanan, Bali seusai saya menuntaskan gowes Jakarta - Denpasar, Bali pada 31 Agustus 2021.
Oh ya teman-teman, Gerobak Baca Maharani di Desa Tangguntiti, Tabanan dikelola oleh Kakek dan Nenek Nyoman, yang semasa mudanya tinggal di Bandung, Jawa Barat sebagai salah satu pejabat di BUMN, yang begitu banyak memiliki cerita yang asyik kita dengarkan.
Keasyikan inilah yang membuat saya memutuskan untuk menunda perjalanan ke Denpasar, Bali, apalagi Kakek Nyoman sudah menawarkan untuk bermalam di rumahnya, yang segera disambut Nenek Nyoman dengan mempersiapkan kamar buat saya.
Saya pun jadi bisa merasakan malam yang hening di Tabanan!
Ketika pagi datang, nenek Nyoman sudah menyiapkan bubur Bali untuk sarapan pagi saya. "Sarapan dulu, biar kuat mengayuh ke Denpasar,"ujarnya.
Setelah menyantap bubur Bali, saya pun berpamintan kepada Kakek dan Nenek Nyoman, untuk bergegas menuju Kota Denpasar, Bali yang merupakan etape terakhir dari Gowes Jakarta-Denpasar, Bali yang saya lakukan.
Rute perjalanan
Saya memulai perjalanan pada 17 Agustus 2021 dari Tugu Pancoran, Jakarta dan berakhir di KM 0 Kota Denpasar, Bali pada 31 Agustus 2021 lalu. Sehingga total perjalanan saya berlangsung selama 15 hari.
1. Hari Kesatu 17/8/2021 : Pancoran, Jakarta - Pamanukan, Subang 130 KM. Saya menyebutnya etape adaptasi dengan jalur Pantura yang panas serta dipenuhi truk-truk besar.
2. Hari Kedua 18/8/2021 : Pamanukan - Jatibarang Balongan - Cirebon 120 KM. Sudah mulai terbiasa dengan panas Pantura.
3. Hari Ketiga 19/8/2021 : Cirebon - Tegal 75 km, rute singkat untuk service sepeda di Rodalink Tegal. Di Kota Tegal sedang banyak renovasi di area pusat kota, mulai mesjid agungnya hingga alun-alun dan bertemu teman-teman dari Rumat.
4. Hari Keempat 20/8/2021 : Tegal - Pekalongan (Sholat Jumat ) - Batang - Kendal 135 km. Rencana ke Semarang dibatalkan karena sudah jam 07.00 Wib saat memasuki kota Kendal dan tenaga sudah "habis" akibat jalan naik turun di wilayah Batang bersama truk-truk "Transformer."
5. Hari Kelima 21/8/2021 : Kendal - Semarang hanya 35 km. Rute singkat guna pemulihan dan wisata singkat di Semarang.
6. Hari Keenam 22/8/2021 : Semarang - Demak - Kudus - Pati - Rembang 120 km. Menikmati keramahan masyarakat dan supir truk yang memberi semangat. Rute paling asyik karena bertemu seorang teman Mapala UI.
7. Hari Ketujuh 23/8/2021 : Rembang - Lasem - Tuban 100 km. Menikmati kota yang terlupakan Lasem serta kota Tuban yang asyik di pagi hari.
8. Hari Kedelapan 24/8/2021 : Tuban - Sidayu - Gresik - Surabaya 120 km. Perjalanan yang asyik karena sedikit truk-truk gede dan menikmati hutan jati dan laut sepanjang perjalanan. Tapi begitu masuk Surabaya, truk-truk gede banyak lagi
9. Hari Kesembilan 25/8/ 2021: Menginap lagi di Surabaya untuk service sepeda, pemulihan, menikmati kota tua dan kulinernya.
10. Hari Kesepuluh 26/8/2021 : Surabaya - Siadoarjo - Pasuruan - Probolinggo 110 km. Melewati lokasi wisata Lumpur Lapindo. Rute Surabaya Probolinggo benar-benar asyik, jalan mulus, pohon yang rindang, tapi anginnya kencang sekali. Jadi gowesnya harus dengan semangat 45!
11. Hari Kesebelas 27/8/2021 : Probolinggo - Situbondo 100 km. Melewati PLTU Paiton, Pantai Bletok yang indah dan melewati monumen Anyer - Panarukan 1.000 km dan dijamu oleh Kasat Narkoba Polres Situbondo AKP Sugiarto.
12. Hari Keduabelas 28/8/2021 : Situbondo - Ketapang, Banyuwangi 90 km. Melintasi Taman Nasional Baluran, tempat pelatihan marinir di Baluran, pemandangan alam yang indah.
13. Hari Ketigabelas 29/8/2021 : Ketapang, Banyuwangi - Pekutatan, Bali 70 km. Harus jalani test antigen lalu memvalidasi surat negatif Covid-19 di Terminal Sritanjung. Menikmati taman nasional burung di sekitar Gilimanuk dalam perjalanan ke Pekutatan dan menginap di Madewi Bay Retreat.
14. Hari keempatbelas -30/08/2021 : Pekutatan - Desa Tangguntiti, Tabanan, Bali 45 km. Mengunjungi rumah baca Maharani dan bermalam di desa Tangguntiti, Tabanan di rumah Kakek dan nenek Nyoman.
15. Hari Kelimabelas - 31/08/2021 Tabanan - Titik 0 KM Denpasar, Bali - Pantai Kuta 35 km. Tuntas!
Mengapa memilih rute pantura 100% menuju Bali?
Sebelum melakukan perjalanan, saya terlebih dahulu melakukan riset kecil tentang rute yang akan saya lalui, sampai akhirnya memutuskan memilih 100% jalur Pantura, tanpa sedikit pun mengambil jalur tengah.
Inilah jalur yang menurut saya patut "diamati" dari dekat, sambil melihat perbedaannya yang begitu mencolok ketika kita tiba di Pulau Bali, saat pemberlakuan PPKM Jawa-Bali berlangsung.
Hasilnya, saya melihat begitu jelas bahwa kebijakan PPKM Jawa-Bali nyaris tidak tampak di Pantura yang saya lalui, mengingat rute ini adalah jalur distribusi barang yang teramat vital bagi Pulau Jawa.
Saya juga menyaksikan aktivitas sekolah tatap muka yang sudah berlangsung, yang teramat penuh pertimbangan untuk dilakukan di Jabodetabek.
Aktivitas di jalur Pantura benar-benar terlihat normal, namun masyarakatnya tetap patuh menjalankan protokol kesehatan di tempat-tempat umum, terutama di Pasar.
Kondisi yang jauh berbeda ketika kita mulai memasuki Pelabuhan Gilimanuk hingga ke Denpasar, Bali saat pemberlakuan PPKM Jawa-Bali.
Kita akan melihat Bali yang benar-benar sepi dan ditinggalkan. Variabel yang menurut saya bisa jadi acuan adalah diskon "gila-gilaan" yang dilakukan pengusaha hotel atau villa di Bali.
Agar lebih akurat, saya pun menyusuri Pantai Kuta - Pantai Mertasari, hingga ke Pantai Sanur. Dan benar saja, Bali benar-benar telah ditinggalkan dalam hampir 2 tahun terakhir ini.
Lalu apakah anda para goweser, yang merupakan orang-orang sehat, tidak tertarik untuk memasuki Bali yang menurut saya lebih romantis dibanding sebelumnya. Yuk ah kita gowes ke Bali!
Penulis : Iman Sulaeman | Pegowes amatir yang menggunakan Polygon Heist X7