Intisari-Online.com - Indonesia memiliki kisah menarik yang membuatnya dihormati di negara Timur Tengah.
Hal ini terkaitkontribusi positifnya dalam percaturan politik bebas aktif.
Menjelang akhir 1970-an gerakannegara-negara Non-Blok dikejutkan dengan serangan besar-besaran kekuatan militer Uni Soviet ke Afghanistan.
Kedatangan pasukan Soviet ini segera mendapat reaksi keras dari rakyat Afghanistan atau lebih tepatnya gerilyawan Mujahidin yang berjuang menghadapi Republik Demokratik Afghanistan beraliran Marxist-Leninist dan mendapat dukungan Soviet.
Perlawanan Mujahidin Afghanistan melawan tentara Uni Soviet yang bersenjata lengkap bak David vs Goliath.
Dengan keadaan yang seperti ini maka sudah barang tentu pasukan Mujahidin bakal kalah telak melawan kekuatan raksasa Soviet.
Yang lebih mengejutkan lagi Amerika Serikat yang sekarang malah berkonflik dengan Afghanistan, dulu pada tahun 1979 ternyata malah membantu para pejuang Mujahidin ini.
Hal tersebut wajar lantaran pihak AS tidak mau Afghanistan jatuh ke tangan komunis Soviet yang dikhawatirkan akan memengaruhi tatanan politik dunia Internasional.
Melalui Central Intelligence Agency (CIA) AS mencoba melobi negara-negara ASEAN agar membantu perjuangan Mujahidin.
Bagaimana reaksi Indonesia? “Kalau kita bisa (lakukan) sendiri, kenapa harus lewat Amerika,” pikir Letjen TNI L.B. Moerdani, Kepala Badan Intelijen Strategis ABRI (TNI) seperti ditirukan Marsda (Pur) Teddy Rusdy sebagaimana dilansir Grid.id.
Akhirnya pimpinan intelijen ABRI dengan persetujuan pimpinan nasional, sepakat membantu para pejuang secara tertutup dan langsung tanpa melalui perantara AS.
Dengan adanya perintah ini maka disiapkanlah sebuah operasi intelijen membantu pejuang Mujahidin yang akan dilakukan Indonesia.
Operasi intelijen yang diberi sandi Flying Carpets (Permadani Terbang) atau disebut juga Babut Mabur.
“Operasi ini sangat tertutup sehingga hanya diketahui oleh sedikit orang,” ujar Teddy lagi.
Maka pihak ABRI langsung mengadakan komunikasi dengan para penghubungnya di Timur Tengah.
L.B Moerdani dan salah satu perwira menengah TNI AU yang juga anggota BAIS (Badan Intelijen Strategis) Pada tanggal 18 Februari 1981 bertemu di Islamabad dengan pimpinan intelijen Pakistan untuk mematangkan rencana ini.
Pertemuan ini pada intinya membahas kesediaan Indonesia membantu memberikan logistik, obat-obatan dan persenjataan kepada pejuang Mujahidin Afghanistan.
Saat itu juga dijelaskan bahwa Indonesia masih menyimpan berbagai persenjataan buatan Uni Soviet macam AK 47 dalam jumlah sangat banyak bekas operasi pembebasan Irian Barat (Trikora).
Sedangkan poin kedua ialah kesediaan Pakistan dalam membantu memberikan izin terbang (flight clearance) di Rawalpindi bagi pesawat Indonesia.
Selain itu Pakistan juga harus menyediakan truk sebagai pengangkut barang berisi senjata itu beserta pengawalannya agar sampai dengan selamat ke pihak Mujahidin Afghanistan.
Lantas dipilihlah pesawat Boeing 707 milik Pertamina yang dioperasikan oleh Pelita Air Service.
Ditunjuklah Kapten Arifin, Kapten Abdullah dan Kapten Danur, ketiganya merupakan pilot TNI AU yang kenyang pengalaman penerbangan Intelijen.
Operasi pengiriman senjata ini ‘dibungkus’ dengan samaran sebagai operasi kemanusiaan membantu korban perang Afghanistan dengan obat-obatan dan makanan.
Setelah semua siap maka pada tanggal 18 Juli 1981 malam hari iringan truk keluar dari gudang khusus Pusat Intelijen Strategis memasuki lanud Halim Perdana Kusuma.
Setelah semua terangkut, pesawat segera lepas landas dan terbang menuju ke arah barat dengan tujuan kepulauan Atol Diego Garcia pangkalan logistik milik AL AS.
Setelah sampai di lanud Rawalpindi segera tim penjemput dari Pakistan segera mengangkut senjata-senjata itu ke truk yang disamarkan dalam peti-peti bertuliskan palang merah indonesia.
Segera setelah itu truk-truk tersebut lantas bergerak dari Pakistan menuju Afghanistan.
Setelah menempuh perjalanan darat, sebelum tengah hari konvoi memasuki wilayah Afghanistan yang dikuasai para Mujahidin.
Secara cepat dilakukan upacara sederhana penyerahan bantuan “obat-obatan dan selimut” untuk para pengungsi korban perang di Afghanistan.
Selesai operasi sukses, personel operasi melapor ke pimpinan ABRI, setelah beristirahat lantas semua awak kembali ke tanah air dengan oleh-oleh karpet permadani asal Pakistan yang terkenal akan mutunya itu.
(*)