Di Afghanistan, cerita seperti ini menjadi lebih umum. Hampir setiap orang memiliki saudara atau tetangga yang pernah mencoba ini.
Fariba Majid, yang saat itu kepala Departemen Hak-Hak Perempuan di provinsi utara Balkh, biasa menggunakan nama anak laki-laki itu Wahid.
"Saya adalah putri ketiga dalam keluarga saya dan ketika saya lahir, orang tua saya memutuskan untuk menyamarkan saya sebagai anak laki-laki," katanya.
"Saya akan bekerja dengan ayah saya di tokonya dan bahkan pergi ke Kabul untuk membawa barang dari sana."
Dia pikir pengalaman itu membantunya mendapatkan kepercayaan diri dan membantunya mencapai posisinya saat itu.
Tak heran, bahkan Azita Rafhat, ibunda Mehran, pernah hidup sebagai anak laki-laki.
"Biarkan aku memberitahumu sebuah rahasia," katanya. "Ketika saya masih kecil, saya dulu hidup sebagai anak laki-laki dan bekerja dengan ayah saya.
"Saya mengalami dunia pria dan wanita dan itu membantu saya menjadi lebih ambisius dalam karir saya."
Tradisi ini telah ada di Afghanistan selama berabad-abad.
Menurut Daud Rawish, seorang sosiolog di Kabul, ini mungkin dimulai ketika orang Afghanistan harus melawan penjajah mereka dan untuk itu perempuan perlu menyamar sebagai laki-laki.
Namun Qazi Sayed Mohammad Sami, kepala Komisi Hak Asasi Manusia Balkh, menyebutnya sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
"Kita tidak dapat mengubah jenis kelamin seseorang untuk sementara waktu. Anda tidak dapat mengubah seorang anak perempuan menjadi laki-laki untuk waktu yang singkat. Itu bertentangan dengan kemanusiaan," katanya.
Tradisi ini memiliki efek merusak pada beberapa gadis yang merasa telah kehilangan kenangan masa kecil yang penting serta kehilangan identitas mereka.
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Tatik Ariyani |
KOMENTAR