Intisari-online.com - Saat ini China mengkukuhkan dirinya sebagai pemilik sah Laut China Selatan.
Padahal dalam secara resmi hal itu ditolak oleh hukum internasional.
Namun, China telah melakukan klaim sepihak atas Laut China Selatan, hal ini pun berimbas pada beberapa negara yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan.
Misalnya di Filipina, China telah membuat banyak nelayan Filipina ketakutan karena tindakanya di Laut China Selatan.
Melansir Daily Express, pada Sabtu (10/7/21), nelayan Filipina Randy Magu, memberikan pernyataan bahwa dia sering melihat kapal penegak maritim China.
Lima tahun setelah putusan pengadilan arbitrase internasional yang penting menolak klaim China atas perairan tempat Megu memancing.
Pria berusia 48 tahun itu mengeluh bahwa pertemuannya dengan kapal China malah lebih sering daripada sebelumnya.
"Saya sangat takut," kata Megu, menggambarkan bagaimana sebuah kapal China telah melacak perahu cadik kayunya selama tiga jam sekitar 140 mil laut (260 km) dari pantai pada bulan Mei.
Dia mengatakan nelayan lain telah melaporkan ditabrak atau diledakkan dengan meriam air saat bekerja di tempat yang mereka anggap sebagai tempat penangkapan ikan bersejarah China.
Padahal para nelayan berharap akan aman setelah keputusan di Den Haag pada 2016, tentang klaim Laut China Selatan yang ditolak.
Kementerian luar negeri China menegaskan pada hari Jumat bahwa Beijing tidak menerima putusan itu atau klaim atau tindakan apa pun yang didasarkan padanya.
China mengklaim sebagian besar perairan dalam apa yang disebut Sembilan Garis Putus, yang juga diperebutkan oleh Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam.
Kapal penangkap ikan China yang beroperasi di daerah itu melakukannya sesuai dengan hukum domestik dan internasional.
Kementerian luar negeri mengatakan dalam sebuah pernyataan kepada Reuters, bahwa mereka tidak tunduk pada moratorium penangkapan ikan musim panas tahunan China, yang berlangsung hingga 16 Agustus.
Hanya dalam satu insiden di bulan Maret, Filipina mengeluhkan serangan oleh lebih dari 200 kapal milisi China ke zona ekonomi eksklusif (ZEE), yang membentang 200 mil laut dari pantainya.
Dalam pernyataannya, Kementerian Luar Negeri China tidak menjawab pertanyaan tentang keberadaan kapal China di ZEE Filipina.
Para diplomat China sebelumnya mengatakan kapal-kapal itu berlindung dari laut yang ganas dan tidak ada milisi yang muncul.
"Data di sini sangat jelas," kata Greg Poling dari Pusat Studi Strategis dan Internasional Washington.
"Kapal Penjaga Pantai China dan milisi berada di ZEE Filipina lebih dari lima tahun lalu," katanya.
Jajak pendapat Juli 2020 menunjukkan bahwa 70% orang Filipina ingin pemerintah menegaskan klaimnya di Laut Cina Selatan.
"Kami dengan tegas menolak upaya untuk melemahkannya, bahkan menghapusnya dari hukum, sejarah, dan ingatan kolektif kami," kata Menteri Luar Negeri Teodoro Locsin dalam sebuah pernyataan bulan lalu.
Negara ini telah melakukan 128 protes diplomatik atas kegiatan China di perairan yang diperebutkan sejak 2016, dan penjaga pantai dan biro kapal perikanan telah melakukan patroli "berdaulat" di ZEE Filipina.
Tetapi Filipina tidak berbuat banyak untuk menekan klaimnya di bawah Presiden Rodrigo Duterte, yang telah menjadikan hubungan dengan China sebagai bagian penting dari kebijakan luar negerinya.
Bahkan mengatakan "tidak berguna" mencoba menantang tetangganya yang jauh lebih besar.
Setelah beberapa kabinetnya meningkatkan retorika atas perairan awal tahun ini, Duterte melarang mereka berbicara.
"China lebih memegang kendali. Satu-satunya hal yang dapat ditunjukkan oleh pemerintah Duterte adalah mereka tidak mengalami insiden besar," kata Poling.
"Jika kamu terus saja menyerah pada si pengganggu, tentu tidak akan ada perkelahian," katanya.
Penjaga pantai Filipina dan kementerian pertahanan tidak menanggapi permintaan komentar.
Kehadiran China juga berkembang di tempat lain di Laut China Selatan.
Ia terus memperkuat pulau-pulau buatan yang dilengkapi dengan pelabuhan, landasan udara, dan rudal darat-ke-udara yang aman.