Intisari-Online.com - Lebih dari 184 warga Palestina terluka setelah polisi Israel menyerbu Masjid Al-Aqsa dan membubarkan jamaah.
Dilaporkan Al Jazeera, Sabtu (8/5), puluhan ribu jamaah Palestina memadati masjid pada Jumat terakhir di bulan Ramadhan.
Banyak yang tetap tinggal untuk memprotes dan mendukung warga Palestina yang menghadapi penggusuran dari rumah oleh pemukim Israel.
Selama seminggu terakhir ini, warga Sheikh Jarrah, serta aktivis solidaritas Palestina dan internasional, menghadiri acara malam untuk mendukung keluarga Palestina di bawah ancaman pengungsian paksa.
Polisi perbatasan dan pasukan Israel telah menyerang mereka dengan air sigung, gas air mata, peluru berlapis karet dan granat kejut selama beberapa hari terakhir.
Puluhan warga Palestina juga telah ditangkap.
Atas kejadian ini, Departemen Luar Negeri AS mengatakan pihaknya "sangat prihatin" tentang kekerasan di Yerusalem.
Dia juga meminta pejabat Israel dan Palestina "untuk bertindak tegas" mengurangi ketegangan.
Beberapa jam setelah bentrokan pertama kali terjadi, bala bantuan besar dari pasukan polisi Israel terus mengalir ke kompleks Masjid Al-Aqsa.
Aktivis Palestina melaporkan bahwa pasukan Israel terus menargetkan jamaah di kompleks itu ketika sejumlah besar warga Palestina yang sedang salat tarawih di dalam masjid.
Kejahatan Perang Israel
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mendesak Israel untuk menghentikan setiap penggusuran paksa di Yerusalem timur yang dicaplok Israel.
Israel sudah diperingatkan bahwa tindakannya dapat dianggap sebagai "kejahatan perang".
"Kami meminta Israel untuk segera membatalkan semua penggusuran paksa," kata juru bicara kantor hak asasi PBB Rupert Colville kepada wartawan di Jenewa.
"Kami ingin menekankan bahwa Yerusalem Timur tetap menjadi bagian dari wilayah Palestina yang diduduki, di mana hukum humaniter internasional berlaku," kata Colville.
"Kekuatan pendudukan ... tidak dapat menyita properti pribadi di wilayah pendudukan," katanya.
Dia mengatakan bahwa pemindahan penduduk sipil ke wilayah pendudukan adalah ilegal menurut hukum internasional dan "dapat dianggap sebagai kejahatan perang."
(*)