Intisari-Online.com -Julukan sebagai 'Bapak Revolusi yang Sunyi' rasanya tergambarkan saat dirinya menolak permintaan Soekarno untuk membacakan teks proklamasi.
Padahal, sangat jelas bahwa tawaran tersebut membuka lebar peluang Tan Malaka untuk menjadi pemimpin negeri ini.
Seperti yang diperoleh oleh Soekarno dan Mohammad Hatta yang menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia selepas pembacaan proklamasi Indonesia.
Alasan Tan Malakan untuk tidak membacakan teks proklamasi pun dianggap sangat negarawan, yang mungkin akan sulit ditemui dalam situsi seperti saat ini.
Sosok Tan Malaka memang seolah menjadi misteri tersendiri dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
Dia menjadi konseptor pertama tentang Republik Indonesia, namun, di sisi lain, dirinya seolah 'makhluk gaib' yang sangat sulit ditemui.
Kerap kali dirinya hadir secara diam-diam dalam acara penting jelang kemerdekaan, namun menggunakan nama samaran.
Padahal, Sutan Sjahrir lebih memilih Tan Malaka yang membacakan teks proklamasi, bukan Soekarno.
Bahkan, Soekarno sendiri sempat meminta Tan Malaka untuk menjadi 'cadangan'pembaca teks proklamasi.
Sebab, Bung Karnot takut terjadi sesuatu pada dirinya atau Bung Hatta.
Sebuah permintaan yang dibalas Tan Malak dengan sebuah kalimat yang benar-benar menunjukkan kenegarawanan dirinya.
Berikut ini kisah lengkapnya.
Kala itu Juli 1945, Sutan Sjahrir mencari Tan Malaka karena dianggap sebagai tokoh yang paling layak membacakan teks proklamasi.
Meskipun dikenal juga sebagai tokoh gerakan bawah tanah menentang Jepang, Sjahrir bukanlah sosok yang pantas, karena dia dianggap kurang begitu populer di kalangan masyarakat. Sedangkan Sukarno-Hatta adalah kolaborator Jepang.
Rudolf Mrazek dalam bukunya, Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia, menceritakan bahwa berbagai upaya telah dilakukan Sjahrir untuk mencari Tan yang 20 tahun berada dalam pelarian.
Setelah beberapa kali mencari, Sjharir akhirnya berhasil bertemu dengan Tan.
Tapi upaya Sjahrir gagal, Tan merasa tidak siap untuk membacakan teks proklamasi.
Sebenarnya sangat disayangkan, ketika proklamasi dikumandangkan, tidak ada sosok Tan Malaka di sana.
Apalagi mengingat bahwa konseptor pertama Republik Indonesia adalah Tan, ini tertuang dalam salah satu opus magnum-nya, Naar de Republiek Indonesia, yang ia susun tahun 1925 saat masih di Belanda.
Buku itu selanjutnya menjadi pegangan wajib tokoh-tokoh pergerakan nasional waktu itu, termasuk juga Sukarno.
Tidak bisa hadir saat proklamasi bisa jadi menjadi penyesalan terbesar bagi tokoh sekaliber Tan Malaka.
Meski demikian, bukan berarti dia tidak mempunyai peran penting.
Beberapa literatur mengatakan, bahwa tokoh yang menggerakkan Sukarni dan rekan-rekannya, adalah Tan Malaka.
Waktu itu, 6 Agustus 1945, Tan datang ke rumah Sukarni menggunakan nama Ilyas Husain.
Beberapa tokoh pemuda juga datang. Tak hanya sekali, 14 Agustus, untuk kali kedua Tan datang ke rumah Sukarni, lagi-lagi membicarakan masalah nasib bangsa.
Meski demikian, Tan Malaka tidak bisa seenaknya keluar menampakkan diri, karena dia masih dalam status buron pemerintah militer Jepang.
Sekira tiga minggu selepas proklamasi, Sukarno menyuruh Sayuti Melik mencari Tan Malaka.
Sukarno ingin bertemu karena ia mendengar bahwa Tan tengah berada di Jakarta.
Sebagai bagian dari golongan muda, Sayuti cukup tahu di mana Tan berada. Pertemuan pun diatur sedemikian rupa.
Dalam kesaksiannya yang pernah dimuat di Sinar Harapa 1976, Sayuti mengatakan bahwa Sukarno berpesan kepada Tan untuk mengganti posisi Sukarno jika ada sesuatu terjadi dengan dirinya dan Hatta.
Amanah Sukarno ditanggapi dengan biasa oleh Tan. Itu tertulis dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, Tan mengatakan, “saya sudah cukup senang bertemu Presiden Republik Indonesia, republik yang sudah lama saya idamkan.”
Kemerdekaan tidak menjadikan hidup Tan merdeka, ia tetap menjadi tokoh yang dikejar-kejar, bahkan oleh negara yang dicita-citakannya sendiri.
Pada 1949 Tan meninggal di ujung bedil tentara republik di seputaran Kediri, Jawa Timur.
Dan pada akhirnya, sampai mati, Tan tetaplah Bapak Revolusi yang sunyi, yang justru berakhir di tangan tentara negara yang dia bangun sendiri.
(Moh Habib Asyhad)