Intisari-Online.com -Masih segar di ingatan kita, pada 2020 lalu dua menteri ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pertama Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo ditangkap KPK atas kasus suap izin ekspor benih lobster.
Kemudian, Menteri Sosial Juliari Batubara ditangkap KPK terkait bansos di wilayah Jabodetabek.
Juliari diduga mendapatkan keuntungan Rp10.000 per paket bansos yang diberikan.
Penetapan dua menteri sebagai tersangka korupsi tersebut semakin menambah deretan panjang kasus korupsi di Indonesia.
Meski demikian, IPK Indonesia pada 2020 dilaporkan turun.
Indeks persepsi korupsi (IPK) atau corruption perception index (CPI) Indonesia pada 2020 turun dari 40 poin menjadi 37 poin dalam skala 1-100, di mana skor 0 sangat korup dan skor 100 sangat bersih.
Penurunan IPK itu diketahui berdasarkan data yang disampaikan Transparency International Indonesia ( TII), Kamis (28/1/2021).
Manajer Departemen Riset TII Wawan Suyatmiko mengatakan, turunnya angka IPK tersebut juga membuat posisi Indonesia melorot menjadi dari pengikat 85 menjadi peringkat 102 dari 180 negara yang dinilai IPK-nya.
"Jika tahun 2019 lalu kita berada pada skor 40 dan ranking 85, ini 2020 kita berada di skor 37 dan ranking 102. Negara yang mempunyai skor dan ranking sama dengan Indonesia adalah Gambia," kata Wawan dalam konferensi pers yang disiarkan akun Facebook TII, Kamis (28/1/2021).
Wawan menuturkan, jika dibandingkan dengan negara-negara kawasan Asia Tenggara, IPK Indonesia berada di peringkat lima di bawah Singapura (85), Brunei Darussalam (60), Malaysia (51), dan Timor Leste (40).
"Timor Leste mengalami peningkatan 2 poin dari 38 ke 40. Indonesia mengalami penurunan dari dari 40 ke 37," ujar Wawan.
Baca Juga: Arti Warna Bisa Berikan Penjelasan Mengenai Siapa Jati Diri Anda
Sementara, ada lima negara Asia Tenggara yang skornya di bawah Indonesia yakni Vietnam (36), Thailand (36), Filipina (34), Laos (29), Myanmar (28), Kamboja (21).
Adapun sepuluh negara terbersih atau negara dengan skor IPK tertinggi sedunia adalah Denmark (88), Selandia Baru (88), Finlandia (85), Singapura (85), Swedia (85), Swis (85), Norwegia (84), Belanda (82), Jerman (80), dan Luxemburg (80).
Sedangkan, lima negara dengan skor IPK terendah adalah Somalia (12), Sudan Selatan (12), Suriah (14), Yaman (15), dan Venezuela (15).
Diketahui, IPK diukur melalui sembilan sumber data yaitu PRS International County Risk Guide, IMD World Competitiveness Yearbook, Global Insight Country Risk Ratings, PERC Asia Risk Guide, dan Varieties of Democracy Project.
Kemudian, World Economic Forum EOS, Bertelsmann Foundation Transform Index, dan Economist Intelligence Unit Coutry Ratings, dan World Justice Project-Rule of Law Index.
"Dengan responden adalah para pelaku usaha dan para pakar di bidang ekonomi dan bisnis, dan yang diteliti atau ditanyakan adalah terkait dengan sektor publik dan soal perilaku pejabat dan politisi terkait dengan suap, gratifikasi, dan korupsi secara umum yang dilakukan di 180 negara," kata Wawan.
Sekretaris Jenderal TII Danang Widoyoko mengatakan, "Penurunan terbesar yang dikontribusikan oleh Global Insight dan PRS dipicu oleh relasi korupsi yang masih lazim dilakukan oleh pebisnis kepada pemberi layanan publik untuk mempermudah proses berusaha."
Sementara itu, penurunan demokrasi yang dikontribusikan pada varieties of democracy menggambarkan korupsi politik masih terjadi secara mendalam dalam sistem politik di Indonesia.
"Sedangkan kenaikan dua poin pada World Justice Project – Rule of Law Index perlu dilihat sebagai adanya upaya perbaikan supremasi hukum," kata Danang menambahkan.