Intisari-Online.com - Timor Leste merupakan negara termuda di Asia Tenggara yang punya sejarah perpecahan rakyatnya menjadi dua kubu.
Dikenal sebagai kelompok pro kemerdekaan dan pro integrasi atau pro Indonesia, rakyat Timor Leste terbagi karena ada yang menginginkan kemerdekaan wilayahnya, juga ada yang ingin wilayahnya berintegrasi dengan Indonesia.
Itu terjadi terus menerus sejak sebelum invasi Indonesia, juga di masa-masa referendum Timor Leste diselenggarakan.
Konflik berlangsung antara dua kelompok tersebut, membuat situasi di Timor Leste kacau balau.
Menambah penderitaan rakyat Timor Leste, bersama dengan kelaparan dan penyakit.
Diyakini kelompok pro integrasi didukung oleh militer Indonesia.
Sebuah laporan oleh Jonathan Head, koresponden BBC, dalam tulisannya yang dimuat globalpolicy.org, mengungkap bukti dukungan militer Indonesia tersebut.
Ia juga berhasil mewawancarai pemimpin miliisi terkenal Timor Leste itu.
Baca Juga: Mengerikan! Pria Ini Membiarkan Laba-laba Pemburu Raksasa Tinggal di Rumahnya: Pemburu yang Perkasa
Melansir globalpolicy.org (13/2/2000), dikatakan bahwa pada awal 1990-an, kelompok pemuda paramiliter dibentuk oleh militer Indonesia untuk melawan kampanye klandestin, melawan pemerintah Indonesia, yang dilakukan oleh penduduk sipil Timor di kota-kota.
Para komandan militer Indonesia secara rutin menyangkal adanya hubungan dengan kelompok tersebut.
Namun, menurut dokumen resmi militer yang diperoleh BBC pada tahun 1998, paramiliter tersebut berada langsung di bawah struktur komando militer setempat.
Bukti bahwa militer berada di belakang milisi tersebut kemudian baru lebih jelas pada Februari 2000, ketika Head menyambangi markas besar garnisun Indonesia di Dili.
Saat itu, Head duduk menunggu wawancara dengan Kolonel Tono Suratman, komandan setempat.
Kebetulan di sebelahnya ada sekelompok orang Timor, salah satu bagian telinganya hilang.
Dia menjelaskan bahwa mereka adalah bagian dari Garda Paksi, kelompok paramiliter pro-Indonesia, dan mereka datang untuk mendapatkan lebih banyak senjata dari tentara untuk memerangi gerakan pro-kemerdekaan yang semakin tegas.
Mereka pun disambut seperti teman oleh tentara Indonesia.
Selanjutnya, beberapa hari kemudian Head bertemu Cancio Cavalhao dan Eurico Gutteres -sedikit diketahui saat itu, tetapi kemudian menjadi dua pemimpin milisi paling terkenal.
Dikatakan bahwa Eurico bersikap malu, tetapi Cancio cukup eksplisit tentang apa yang mereka rencanakan, dan siapa yang membantu mereka.
Selain mereka, ada seorang mantan pegawai negeri di Kementerian Kehakiman Indonesia, saat itu baru saja membentuk kelompok milisinya sendiri, Mahidi, singkatan dari Live or Die for Integration with Indonesia.
Dia menjelaskan bagaimana dia diberikan senjata otomatis modern oleh militer Indonesia, dan bagaimana dia menggunakannya dalam serangan di sebuah desa yang menewaskan enam orang, termasuk seorang wanita hamil.
Ia mengungkapkan bahwa jika Presiden Habibie tetap berpegang pada rencananya untuk menawarkan kemerdekaan kepada Timor Timur, maka milisi akan bertempur sampai mati, dan menghancurkan negara.
Laporan BBC pada saat itu dipublikasikan secara luas di Indonesia, dan Jenderal Wiranto, yang saat itu adalah panglima angkatan bersenjata, ditanyai tentangnya. Namun, dia hanya menyangkalnya.
Begitu juga ketika sebuah peristiwa berdarah terjadi di sekitar gereja.
Digambarkan orang-orang yang terluka parah berbaring menggerutu di tanah. Beberapa wanita menangis histeris, mengatakan puluhan pria telah dibantai.
"Pendeta setempat kemudian memberi tahu kami bagaimana tentara Indonesia dan polisi anti huru hara membantu milisi dalam serangan mereka terhadap penduduk kota - kami masih dapat melihat para pemimpin milisi dan tentara mengobrol dan merokok bersama. Korban tewas terakhir dari Liquica mungkin melebihi 50," tulis Head.
Ketika dia melaporkan keterlibatan tentara, dan cara milisi membunuh tanpa mendapat hukuman, dikatakan Jenderal Wiranto tidak melakukan apa pun.
"Dari semua bukti, ia menyebut peristiwa itu sebagai bentrokan antara geng pro dan anti Indonesia," bebernya.
Kemudian pada 17 April tahun itu, ratusan milisi diizinkan untuk berkumpul di depan kantor Gubernur, melambaikan senjata mereka.
Ketika di tempat lain di Indonesia hal ini tidak akan ditoleransi, di Timor Timur justru tentara Indonesia disebut menghibur sekutu paramiliter mereka.
Dipimpin oleh Eurico Gutteres, para milisi kemudian mengamuk di kota yang menewaskan sedikitnya selusin orang.
"Kami merekam dia dan anak buahnya, menggunakan senjata otomatis dengan nomor urut tentara Indonesia yang masih terlihat jelas, menembaki sebuah rumah di mana lebih dari 100 orang bersembuny," tulis Head.
Anak laki-laki berusia 17 tahun dari juru kampanye pro-kemerdekaan Manuel Carrascalao adalah salah satu dari mereka yang terbunuh.
"Ketika saya mencoba mendekati rumah, polisi bersenjata Indonesia menghalangi jalan saya. Di belakang mereka, terlihat para milisi menggunakan truk tentara untuk membawa mayat-mayat itu," katanya.
"Saya mengemukakan kolaborasi yang jelas antara keduanya dengan beberapa pejabat Indonesia, dan disuruh mengurus urusan saya sendiri," katanya.
Disebut bahwa Jenderal Wiranto diwawancarai malam itu, dan bersikeras bahwa anak buahnya telah melakukan segala kemungkinan untuk mengendalikan kekerasan.
"Tidak ada tindakan yang diambil terhadap anggota milisi manapun. Mereka bergerak bebas di sekitar Dili, menunjukkan senjata Indonesia mereka sebagai peringatan kepada seluruh penduduk," ujar Head.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari