Advertorial
Intisari-Online.com - Tak jarang, hewan tertentu dianggap lebih istimewa di suatu daerah dibanding daerah lainnya.
Seperti sapi yang dianggap sebagai hewan suci di India, meski di negara-negara lainnya hewan ini dianggap sebagai hewan ternak biasa.
Ternyata, seperti sapi di India, buaya juga punya status sakral bagi warga Timor Leste.
Bahkan, masyarakat Timor Leste selama berabad-abad telah memuja bahkan menyembah hewan yang satu ini.
Bagaimana buaya bisa menjadi begitu istimewa di Timor Leste?
Ternyata, inilah kisah di balik adanya kepercayaaan tersebut.
Melansir The New York Times (6/6/2019), Ada mitos di Timor Leste tentang buaya Lafaek Diak.
Dikisahkan, karena persahabatannya dengan seorang anak laki-laki, ia mengorbankan dirinya untuk menjadi rumah anak, yaitu pulau Timor, dengan setiap benjolan bersisik di punggungnya berubah menjadi gunung.
Orang Timor menyebut buaya sebagai "abo", kata dalam bahasa Tetum untuk kakek-nenek.
Di Timor Leste, membunuh mereka secara budaya adalah tabu dan juga ilegal.
Hewan-hewan tersebut sangat dikagumi di Timor Leste sehingga para korban serangan seringkali terlalu malu untuk melaporkannya.
Itulah sebabnya banyak yang percaya bahwa jumlah serangan buaya terhadap warga di sana sebenarnya lebih tinggi daripada yang ditunjukkan statistik resmi.
Orang Timor yang paling berisiko terkena serangan buaya adalah mereka yang tinggal di tepi sungai yang tak terhitung jumlahnya di pulau ini, atau di sepanjang pantainya.
Padahal, menggunakan sungai, baik untuk mengambil air, mencari ikan untuk makan, mandi atau mencuci, adalah bagian dari kehidupan sehari-hari warga Timor Leste.
Para peneliti menemukan bahwa hampir 83 persen dari mereka yang diserang di Timor Lorosa'e dalam 11 tahun terakhir adalah orang-orang menangkap ikan secara subsisten, menggunakan kano kecil atau mengarungi air.
Banyak penduduk lokal tidak percaya bahwa buaya asli berada di balik peningkatan serangan; mereka justru menyalahkan migran, atau pembunuh "pembuat onar".
Menurut penduduk lokal, mereka yang diserang adalah karena bermain dengan seperangkat aturan yang berbeda dari "kakek" setempat.
Demetrio Carvalho, Menteri Luar Negeri Timor Leste, menyimpulkan teorinya, bahwa masyarakat Timor Leste percaya buaya adalah nenek moyangnya sehingga tidak mungkin menyerang orang.
“Masyarakat percaya buaya ini adalah nenek moyang kami, dan nenek moyang tidak pergi menyerang orang,”
"Kakek nenek kita tidak membunuh kita," katanya.
Sementara itu, Yusuke Fukuda dan Sam Banks, ahli biologi dari Australia, prihatin dengan banyaknya orang diserang buaya di Timor Leste.
Hal itu membuat mereka melakukan perjalanan ke Timor Leste untuk menyelidiki mengapa begitu banyak orang Timor dibunuh oleh buaya.
“Kami menjadi prihatin setelah banyak orang diserang buaya di Timor Leste,” kata Fukuda, seorang Ph.D. kandidat di Australian National University di Darwin.
Menurutnya, serangan buaya di Timor Leste telah meningkat 20 kali lipat dalam dekade terakhir.
Sedikitnya terdapat satu kematian sebulan di negara berpenduduk 1,2 juta orang itu.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik disini