Advertorial
Intisari-Online.com - Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto berkunjung ke Washington DC, Amerika Serikat ( AS), pada Jumat (16/10/2020), guna memenuhi undangan mitranya, Menteri Pertahanan AS Mark Esper.
Namun,kunjungan itu hampir tidak menjadi berita di Australia, dan sangat sedikit orang yang tahu, atau peduli, tentang menteri pertahanan Indonesia. Tapi mereka harus tahu.
Prabowo bertemu dengan Mark Esper untuk membahas masalah keamanan dan pertahanan regional, tetapi perjalanan tersebut menyoroti tantangan diplomatik bagi Australia mengingat sejarah mantan letnan jenderal tersebut, dan rencana masa depannya sendiri dalam sistem politik Indonesia.
Begitulahmenurut Ross B. Taylor AM,presiden Indonesia Institute Inc. yang berkedudukan di Perth, dalam artikel berjudul 'Prabowo Setto Complicate the Australia-Indonesia Relationship' yang tayang di The Diplomat, Senin (26/10/2020).
Pada tahun 1998, Prabowo diberhentikan secara tidak hormat dari militer Indonesia menyusul tuduhan kekejaman di Timor Timur,serta dugaan penculikan dan penyiksaanaktivis pro-demokrasi menjelang penggulingan Presiden Soeharto.
Dugaan pelanggaran ini tidak pernah terbukti di pengadilan Indonesia tetapi, berdasarkan bukti yang kuat, mengakibatkan pemerintah AS melarang Prabowo bepergian ke Amerika.
Pemerintah Australia menerapkan larangan serupa sampai tahun 2014.
Untuk mengantisipasi bahwa mantan orang kuat Soeharto itu akan memenangkan pemilihan presiden, para pejabat diam-diam mencabut pembatasan perjalanan Prabowo.
Namun, Prabowo gagal memenangkan pemilihan presiden pada tahun 2014, kalah tipis dari petahana saat ini, Joko 'Jokowi' Widodo.
Pada pemilu tahun lalu, Prabowo sekali lagi gagal mengalahkan Jokowi.
Dengan memperhatikan pemilu 2024, hingga saat ini Prabowo benar-benar terbukti sebagai menteri pertahanan yang sangat efektif.
Prabowomendekati Rusia dan juga China, meskipun dia sangat meragukan rencana apa yang mungkin dimiliki oleh kepemimpinan China untuk Indonesia.
Dalam banyak hal, Indonesia dan Australia memiliki tantangan yang sama berkenaan dengan China.
Baik Indonesia maupun Australia sangat bergantung secara ekonomi pada negara adidaya Asia itu.
Namun, keduanya juga memiliki keraguan yang serius tentang niat dan perilaku Beijing di seluruh kawasan Indo-Pasifik.
Undangan Prabowo untuk mengunjungi Amerika Serikat - dan pencabutan larangan perjalanannya - berkaitan dengan posisi Washington atas China, dan kebutuhan akan Indonesia yang mendukung peran Amerika yang kuat di wilayah tersebut.
Minggu ini, Menteri Luar Negeri Mike Pompeo akan berkunjung ke Indonesia, sebagai bagian dari tur regional yang lebih luas yang juga akanmengunjungi India, Sri Lanka, dan Maladewa.
Selama di Jakarta, Pompeo akan "bertemu dengan rekan-rekannya dari Indonesia untuk menegaskan visi kedua negara tentang Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka," menurut Departemen Luar Negeri AS.
Terlepas dari retorika demokrasi Pompeo, kekhawatiran administrasi Trump tentang terobosan China telah membuatnya mengambil pendekatan pragmatis terhadap demokrasi dan hak asasi manusia di kawasan Indo-Pasifik, sebuah posisi yang dipahami dan diupayakan Prabowo untuk dieksploitasi.
Hal yang sama mungkin terjadi pada pemerintahan Joe Biden jikadia dalam pemilihan presiden minggu depan.
Jadi,bagaimana dengan Australia, yang, meskipun tidak lagi memiliki larangan resmi atas masuknya Prabowo ke negara itu, memiliki kecurigaan yang cukup besar tentang bagaimanaPrabowo akan berperilaku jika dia berhasil mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2024?
Bagaimana Canberra menangani Prabowo jika dia mencapai tujuan utamanya untuk memimpin Indonesia?
Empat tahun masih jauh, tetapi kepresidenan Prabowo pasti akan membuat hubungan bilateral dengan Australia jauh lebih terlihat,
mengingat pengabaian Jokowi yang terkenal terhadap urusan luar negeri.
Ini juga bisa berarti hubungan yang lebih tidak stabil dan menuntut daripada yang dihadapi Australia di bawah Jokowi, dan di bawah pendahulunya, Susilo Bambang Yudhoyono.
Untuk saat ini, Prabowo Subianto tetap menjadi sosok yang kuat di Indonesia dan salah satu tokoh di kawasan.
Ketika pertemuan 2 + 2 Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan Australia-Indonesia dua kali setahun semakin dekat, pilihan untuk mengikuti jejak Amerika dalam mengabaikan masa lalu Prabowo yang kelam dan dipertanyakan mungkin terbukti tidak dapat dihindari bagi para pemimpin Australia.
Melakukan hal itu akan berisiko menimbulkan kemarahan dari para aktivis hak asasi manusia.
Tetapi kenyataannya mungkin para pemimpin negara tidak mampu mengasingkan Indonesia yang nasionalis dan lebih otokratis pada saat kawasan ini menghadapi peningkatan ketidakstabilan dan masa depan yang tidak pasti.
Bagaimanapun, Australia telah "mengurung dirinya sendiri" menuju hubungan yang tegang dan terkadang pahit dengan China.
Baca Juga: Wah, Ternyata Dulu Semut Punya Sayap, ke Mana Hilangnya?