Advertorial

Benarkah dalam Omnibus Law Karyawan Dilarang Cuti dan Harus Bekerja Lebih Lama?

Tatik Ariyani

Editor

Intisari-Online.com-Pengesahan UU Cipta Kerja oleh DPR RI direspon dengan demo besar-besaran di sejumlah daerah.

Tak jarang, aksi unjuk rasa berujung dengan kericuhan. Pangkal ponolakannya terutama terkait dengan perubahan pasal-pasal ketenagakerjaan.

UU Cipta Kerja berasal dari RUU yang diusulkan oleh Presiden Joko Widodo ( Jokowi) pada April 2020. UU ini juga seringkali disebut dengan Omnibus Law Cipta Kerja.

Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) menghapus ketentuan lima hari kerja dalam sepekan. Sebelumnya diatur dalam Pasal 79 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Baca Juga: Masih WFH? Jangan Sepelekan Pegel dan Nyeri Otot yang Sering Dirasakan Kala Kerja dari Rumah, Atasi Sebelum Makin Memburuk dengan Ini

Pasal 77 ayat (2) disebutkan jam kerja maksimal dalam sepekan adalah 40 jam. Namun, lembur harus mendapat persetujuan antara pengusaha dengan pekerja. Hal ini tertuang dalam Pasal 78:(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat:

a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; danb. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling lama 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

Berbeda dari Pasal 78 ayat 1 butir b UU Ketenagakerjaan, waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam 1 minggu. Tapi, Omnibus Law mengubah lembur menjadi paling lama 4 jam dalam 1 hari dan 18 jam dalam 1 minggu.

Baca Juga: Warga China Mulai Diperintahkan Persiapkan Kebutuhan Darurat Termasuk Selimut Api, Persiapan Perang?

Cuti

Pasal 79 ayat 1 UU Cipta Kerja, pengusaha tetap wajib memberikan waktu istirahat dan cuti kepada buruh. Cuti paling sedikit diberikan selama 12 hari usai pekerja bekerja 12 bulan secara terus menerus. Sedangkan ketentuan haid dan melahirkan tetap mengacu pada Pasal 81 dan 82 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.Pasal 79:(1) Pengusaha wajib memberi:a. waktu istirahat; danb. cuti.

(2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi:

a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; danb. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.(3) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh, yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.

(4) Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(5) Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjianKerja Bersama.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Baca Juga: Coba Minum Air Kelapa Sebelum Tidur, Rasakan Manfaatnya yang Luar Biasa untuk Tubuh, Ini Waktu Selain Siang Cocok untuk Konsumsi Air Kelapa

Celah Aturan 6 Hari Kerja dalam Seminggu

Pada Pasal 81 Omnibus Law UU Cipta Kerja. Di bagian tersebut, hanya tercantum aturan enam hari kerja dalam sepekan bagi para pekerja.

"Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi:a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus-menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan

b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu," bunyi pasal tersebut. Pasal ini memberi celah bagi pemberi kerja untuk menambah hari kerja pekerja.

Tidak Memberikan Kepastian Pengangkatan Sebagai Pegawai Tetap

Pasal 59 ayat 4 UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Dalam Omnibus Law, batasan perpanjangan waktu kontrak ini yang dihapus. Ketentuan lebih lanjut hanya diatur Peraturan Pemerintah (PP)

Pasal 59

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu sebagai berikut:

a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannyadalam waktu yang tidak terlalu lama;c. pekerjaan yang bersifat musiman;d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru,kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; ataue. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

Upah Dihitung Berdasarkan Satuan Waktu

Dalam Pasal 88B, kebijakan pengupahan dihitung berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil. Aturan ini belum menjelaskan detail satuan tersebut dan pada ayat (2) Pasal 88B menyatakan ketentuan lebih jauh akan masuk dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 88B(1) Upah ditetapkan berdasarkan:a. satuan waktu; dan/ataub. satuan hasil.(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.Perubahan ini akan memiliki dampak signifikan terhadap besaran upah yang akan diterima oleh pekerja.

Baca Juga: Kerap Pakai Cara Licik 'Jajah' Negara Lain dengan Jebakan Utang yang 'Mustahil' Dilunasi, China Tiba-tiba Bantah Lancarkan Cara yang Sama di Negara-negara Afrika

Tak Ada Larangan Protes dan Demonstrasi Buruh

Tak ada larangan protes dan demonstrasi buruh dalam Bab Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja.

Sesuai Pasal 154A, unjuk rasa tak masuk dalam alasan pemberi kerja melakukan PHK kepada pekerjanya. PHK baru bisa dilakukan jika buruh tak dapat bekerja selama enam bulan akibat ditahan karena tindak pidana.

Pasal 154A

(1) Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:a. perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh;

b. perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian;

c. perusahaan tutup yang disebabkan karenaperusahaan mengalami kerugian secara terusmenerus selama 2 (dua) tahun;

d. perusahaan tutup yang disebabkan keadaanmemaksa (force majeur).

e. perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;

f. perusahaan pailit;

g. adanya permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh pekerja/buruh dengan alasan pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:

1. menganiaya, menghina secara kasar ataumengancam pekerja/buruh;

2. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

3. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu;

4. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;

5. memerintahkan pekerja/buruh untukmelaksanakan pekerjaan di luar yangdiperjanjikan; atau

6. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaanpekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebuttidak dicantumkan pada perjanjian kerja;

h. adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menyatakan pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf g terhadap permohonan yang diajukanoleh pekerja/buruh dan pengusaha memutuskanuntuk melakukan pemutusan hubungan kerja;i. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:1. mengajukan permohonan pengunduran dirisecara tertulis selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;2. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan3. tetap melaksanakan kewajibannya sampaitanggal mulai pengunduran diri;

j. pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis;

k. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;

l. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana;m. pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;n. pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atauo. pekerja/buruh meninggal dunia.

(2) Selain alasan pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditetapkan alasan pemutusan hubungan kerja lainnya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1).

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Baca Juga: Sukses Besar Tangani Covid-19 dengan Masker Sampai Buat Negara Tetangga Iri, Negara Eropa Ini Justru Kewalahan Hadapi Gelombang Kedua Wabah Covid-19

Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Benarkah Cuti Dihapus dan Jam Kerja Bisa Lebih Lama? Begini Isi UU Cipta Kerja

Artikel Terkait