Advertorial
Intisari-Online.com - Pada 12 November 1991, orang-orang pro-kemerdekaan Timor Leste berjalan dari gereja St Antonio Padua di Motael Dili menuju pemakaman Santa Cruz sebagai aksi protes dipicu oleh kematian Sebastiao Gomes.
Sebastio Gomes sendiri merupakan seorang pemuda anggota kelompok pro-Kemerdekaan Timor Leste yang tewas ditembak mati tentara Indonesia sekitar dua minggu sebelumnya.
Ketika berjalan kaki untuk protes tersebut, mungkin ratusan orang tersebut tak mengetahui peristiwa apa yang menanti mereka.
Sebuah kekacauan terjadi tak lama setelah para pendemo sampai di Pemakaman Santa Cruz.
Tiba-tiba datang rentetan tembakan, sementara pendemo di bagian belakang roboh, yang lain bubar lari tunggang-langgang.
Suasana pemakaman Santa Cruz berubah mencekam dan menjadi pertumpahan darah.
Itulah yang kini dikenal sebagai Tragedi Santa Cruz atau Pembantaian Santa Cruz 1991.
Rupanya sebelum peristiwa tersebut, lebih dulu terjadi konfrontasi antara aktivis pro-integrasi dan kelompok pro-kemerdekaan Timor Leste usai digagalkannya kunjungan Portugal oleh pemerintah Indonesia saat itu.
Baca Juga: Tubuhnya Gemetaran, Keliru Dinyatakan Meninggal, Kakek 74 Tahun Dimasukkan Peti Pendingin Jenazah
Kejadian itu juga lah yang kemudian berbuntut tewasnya Sebastiao Gomes dari kelompok pro-kemerdekaan Timor Leste.
Melansir Irish Times (10/11/2017), Sebelum kematiannya, Gomes dan aktivis lainnya telah mempersiapkan kunjungan delegasi parlemen dari Portugal, penjajah lama Timor Timur.
Pemerintahan Lisbon berakhir di sana pada tahun 1975, sebagai konsekuensi dari Revolusi Bunga Portugal pada bulan April.
Setelah Portugal meninggalkan Timor Leste, partai Fretilin sebenarnya telah mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste secara sepihak.
Namun, pada bulan Desember, beberapa hari setelah deklarasi kemerdekaan partai Fretilin, negara datang pasukan Indonesia menginvasi wilayah tersebut.
Kunjungan resmi dari luar wilayah sendiri jarang terjadi di bawah pemerintahan Indonesia, dan hanya sedikit orang asing yang diizinkan masuk.
Prospek untuk menunjukkan kepada komunitas internasional apa yang sedang terjadi di Timor Leste kemudian mengilhami para juru kampanye kemerdekaan untuk merencanakan demonstrasi.
Mereka yang tidak bertempur di pegunungan di luar ibu kota - bersama dengan pahlawan perlawanan seperti Xanana Gusmão - sibuk mengubah seprai menjadi spanduk, dan membuat plakat meminta bantuan dunia.
Kunjungan delegasi dibatalkan, namun para aktivis tetap memutuskan untuk melakukan protes.
Rencana itu sendiri dibatalkan setelah pemerintah Indonesia mengajukan keberatan atas rencana kehadiran Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu.
Joleffe adalah seorang wartawan Australia yang dipandang mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin.
Pembatalan ini menyebabkan kekecewaan mahasiswa pro-kemerdekaan yang berusaha mengangkat isu-isu perjuangan di Timor Timur.
Kekecewaan tersebut menyebabkan situasi memanas antara pihak pemerintah Indonesia dan para mahasiswa.
Puncaknya pada tanggal 28 Oktober, pecah konfrontasi antara aktivis pro-integrasi dan kelompok pro-kemerdekaan yang pada saat itu tengah melakukan pertemuan di gereja Motael Dili.
Selain Sebastio Gomes dari kelompok pro Kemerdekaan, ada pula korban tewas dari kelompok pro-integrasi.
Afonso Henriques dari kelompok pro-integrasi tewas dalam perkelahian dan seorang aktivis pro-kemerdekaan.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari