Advertorial
Intisari-Online.com -Harga janda bolong yang tembus hingga Rp100 juta mengingatkan kita dengan anturium yang bahkan dikabarkan ditukar dengan mobil Toyota Innova.
Situasinya dianggap mirip, yaitu di mana sebuah tanaman yang awalnya dianggap biasa-biasa saja tiba-tiba dihargai sangat tinggi.
Bahkan beberapa orang menganggap harga tanaman tersebut sudah sangat tidak irasional.
Lalu, mengapa fenomena tersebut bisa terjadi? Siapakah yang berperan 'menggoreng' harga janda bolong maupun anturium?
Ya, jika kita ingat ke belakang, jenis tanaman yang hits dan menjadi tren adalah anturium, aglaunema, dan sebagainya.
Sempat dijual dengan harga fantastis, kini harga tanaman itu sudah mulai turun, tidak setinggi di masa puncak popularitasnya.
Apa yang sebenarnya terjadi pada fenomena pasar yang seperti ini?
Ekonom dari Institute Development of Economics and Financial (Indef), Bhima Yudhistira menyebut fenomena semacam ini disebut sebagai gelembung ekonomi atau bubble economy.
"Teorinya adalah gelembung ekonomi (bubble economy) di mana harga aset menyimpang jauh dari nilai intrisiknya," kata Bhima saat dihubungi Kompas.com, Minggu (27/9/2020).
Bhima menjelaskan, dalam sejarahnya fenomena ini pertama kali tercatat pada 1637.
Saat itu, bunga tulip dihargai 3.000-4.200 Gulden di Eropa.
"Kemudian Charles Mackay, menulis buku terkenal Extraordinary Popular Delusions and the Madness of Crowds, bahwa harga tulip bisa melambung tinggi karena pasar irasional," sebut Bhima.
Pasar irasional ini jugalah yang saat ini terjadi pada harga jual jenis tanaman monstera di Indonesia.
Gejala irasionalitas
Namun, pasar irasional ini juga sudah beberapa kali terjadi di Tanah Air sebelumnya.
"Di Indonesia ini terjadi berulang pada saat booming ikan louhan, daun anthurium, sampai batu akik (ini) menunjukkan adanya gejala irasionalitas di pasar," jelas dia.
"Misalnya pada saat anturium dihargai setara mobil Innova pada saat itu, ternyata ada permainan antar pedagang tanaman hias atau kartel yang menggoreng harga sehingga bisa ratusan juta rupiah," ungkap dia.
Permainan yang dimaksud Bhima adalah upaya di antara para pedagang untuk sepakat menaikkan harga item tertentu, sehingga muncullah harga baru yang berbeda.
Tidak hanya itu, para pemain di balik harga pasar ini juga menciptakan rumor-rumor tertentu untuk mempermulus upayanya dalam melambungka harga.
"Yang dilakukan adalah proses pembentukan harga di antara sesama pedagang, kemudian diciptakan rumor atau isu agar masyarakat makin tertarik beli. Ada forum-forum kolektor juga, diciptakan imajinasi bahwa yang warna tertentu, bentuk tertentu punya harga lebih," katanya lagi.
Misalnya, saat ini tanaman monstera dengan jenis variegata atau memiliki campuran warna putih dan hijau, dibanderol harga lebih tinggi daripada monstera yang berwarna hijau biasa, karena disebut langka, dan sebagainya.
"Jadi diciptakan pembenaran bahwa harga yang fantastis itu wajar," ujarnya.
Namun, satu hal yang perlu diselidiki menurut Bhima adalah siapa yang bermain di balik semua ini.
Menurutnya, spekulan pasar selalu menciptakan produk untuk dipermainkan.
"Iya memang ada perubahan perilaku juga selama pandemi, masyarakat banyak WFH, sehingga perhatian terhadap interior rumah, termasuk tanaman indoor naik. Jadi ada tren ini, tapi juga digoreng oleh spekulan," pungkas Bhima.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Di Balik Mahalnya Janda Bolong, Apa yang Terjadi?", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/tren/read/2020/09/27/183000365/di-balik-mahalnya-janda-bolong-apa-yang-terjadi-?page=all#page2.Penulis : Luthfia Ayu AzanellaEditor : Sari Hardiyanto