Advertorial
Intisari-online.com -Pandemi global Covid-19 sampai saat ini belum juga usai.
Indonesia sedang alami lonjakan kasus Covid-19 sehingga Jakarta mulai terapkan PSBB ketat yang hampir sama dengan lockdown.
Lockdown atau penguncian berarti menghentikan semua aktivitas di luar seperti penerbangan, transportasi umum dan orang-orang hanya berada di rumah.
Mulai dari para siswa yang belajar sampai para pekerja semua harus melaksanakan aktivitas mereka di rumah agar tidak perlu berhubungan dengan orang lain.
9 bulan sejak wabah ini merebak di dunia, ada beberapa negara yang berhasil menerapkan lockdown.
Namun tidak sedikit penduduk dunia yang alami stress berkepanjangan karena lockdown.
Mulai dari masalah pendapatan berkurang sampai bosan yang melanda untuk tetap berada di rumah saja.
Namun rupanya lockdown tidak hanya dialami oleh manusia.
Bahkan, sejak Mei lalu Matahari juga mengalami lockdown.
Dilansir dari nypost.com pada Sabtu (16/5/2020), Matahari kita, yang merupakan pusat tata surya saat ini telah berada dalam periode 'solar minimum' atau 'minimum Matahari'.
Artinya aktivitas di permukaannya telah turun secara drastis.
Dengan kondisi ini, maka para ahli percaya bahwa kita akan memasuki periode terdalam dari 'resesi' sinar Matahari, yang pernah tercatat sebagai bintik Matahari telah menghilang.
Baca Juga: Bukti Kesetiaan Anjing, Rela Tempuh Perjalanan Sejauh 16.000 Km untuk Kembali Bertemu Pemiliknya,
"Solar Minimum sedang berlangsung dan ini sangat dalam," kata astronom Dr. Tony Phillips.
"Dalam hitungan, kondisi Matahari saat ini adalah salah satu yang terdalam pada abad ini."
"Di mana medan magnet Matahari menjadi lemah, memungkinkan sinar kosmik ekstra ke tata surya."
Kondisi ini membuat kita semua harus sungguh waspada.
Sebab, ada beberapa dampak besar yang bisa terjadi.
"Hal ini dapat menimbulkan bahaya kesehatan bagi para astronot dan mereka yang berada di kutub."
"Lalu juga memengaruhi elektro-kimia atmosfer di atas Bumi dan dapat membantu memicu petir."
Namun tak hanya itu, ilmuwan NASA khawatir jika kondisi ini dapat mengulang kejadian antara tahun 1790 dan 1830.
Kondisi yang dinamakan Dalton Minimum tersebut menyebabkan periode musim dingin yang brutal.
Terjadi gagal panen di mana-mana sampai mengakibatkan bencana kelaparan, serta ada letusan gunung berapi yang sangat kuat.
Saat itu, kondisi suhu merosot hingga 2 derajat Celcius (3,6 derajat Fahrenheit) selama 20 tahun dan menghancurkan produksi pangan dunia.
Pada 10 April 1815, letusan gunung berapi terbesar kedua dalam 2.000 tahun terjadi di mana Gunung Tambora di Indonesia meletus dan menewaskan sedikitnya 71.000 orang.
Ini juga menyebabkan 'Tahun Tanpa Musim Panas' pada tahun 1816 dan ada salju di bulan Juli.
(Mentari D.P)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini